Kamis, 20 Oktober 2011

Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi dan al-Qur’an


1.      Hadis Nabi
Hadis dilihat dari sandarannya terbagi dalam dua bagian yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi sendiri dan hadis yang disandarkan kepada Allah. [1] Hadis Nabi adalah apa yang disampaikan dari Nabi saw., yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat Nabi saw.[2]
2.      Hadis Qudsi
Hadis qudsi perlu dimunculkan karena ternyata banyak masyarakat yang belum mengerti statusnya. Pada umumnya, mereka terjebak pada kata qudsi yang diartikan sebagai sebuah kesucian[3] kemudian mereka menduga bahwa semua hadis qudsi itu shahih. Hadis qudsi disebut juga hadis ilahi dan hadis rabbani.
Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuhan) dan rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang Maha Suci dan dinamakan hadis karena nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah. Kata qudsi sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadis yang disandarkan kepada Tuhan dan tidak menjamin kualitasnya. Oleh karena itu, tidak semua hadis qudsi itu shahih akan tetapi ada yang shahih, hasan dan dha'if tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Definisi hadis qudsi adalah:
      كل ما أضافه الرسول صلى الله عليه وسلم إلى الله عز وجل
Artinya: Segala perkataan yang disandarkan Rasulullah saw. kepada Allah swt.

Bentuk-bentuk periwayatan hadis qudsi pada umumnya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah, misalnya:
قال النبي صلى الله عليه وسلم قال الله عز وجل
Artinya: Nabi saw. Bersabda, Allah 'azza wajalla berfirman:
يقول النبي صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه
Artinya: Rasulullah saw. bersabda tentang apa yang diriwayatkannya dari Allah.

يحكى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ربه عز وجل يقول...
Artinya: Rasulullah saw. menceritakan dari Tuhannya, Dia berfirman:…

Pengertian Hadis dan Sunnah


Kata hadis berasal dari bahasa Arab al-Hadīś, jamaknya adalah al-Ahādīś yang akar katanya terdiri dari huruf ha-da-śa. Secara etimologi, kata ha-da-śa memiliki beberapa arti, antara lain sesuatu yang sebelumnya tidak ada (baru).[1] Ibnu Manzur mengatakan bahwa kata al-hadīś merupakan lawan kata dari al-qadīm (tua, kuno, lama),[2] Sedangkan Musthafa Azami mengatakan bahwa arti dari kata al-hadis adalah berita, kisah, perkataan dan tanda atau jalan.[3] Sementara Muhammad al-Maliki mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata al-hadis adalah sesuatu yang ada setelah tidak ada.[4] Dari makna tersebut dapat dipahami bahwa al-hadis adalah berita baru yang terkait dengan kisah perjalanan seserang.
Sedangkan kata al-sunnah (berasal dari bahasa Arab) yang akar katanya terdiri dari sin dan nun memiliki arti sesuatu yang mengalir atau sesuatu yang berurutan.[5] Dari makna tersebut, kata al-sunnah diartikan sebagai perilaku seseorang, baik itu positif maupun negatif.[6] Oleh sebab itu, penekanan al-Sunnah lebih kepada perilaku seseorang sejak dia lahir hingga dia meninggal, tanpa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, sementara hadis penekanannya pada sesautu yang baru yang terkait dengan kisah atau berita.  
Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap hadis maupun sunnah disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya.[7] Untuk mengetahui perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi hadis (sunnah) menurut ulama hadis, ulama ushul al-fiqhi, ulama fiqhi dan ulama Aqidah.

Problematika Kejahatan

Kejahatan adalah satu dari sekian banyak kesulitan yang berkaitan dengan persoalan keadilan Tuhan. Pembahasan ini terasa sulit, karena ia memang bukan persoalan ilmiah yang dapat dijawab melalui eksperimen dan observasi, bukan pula masalah praktis yang bisa diselesaikan dengan keputusan dan tindakan. Tetapi, ia lebih merupakan problem filosofis yang menghendaki suatu dalil pemikiran yang dapat menjelaskannya secara proporsional. Begitu fundamentalnya persoalan ini, sehingga hampir semua ajaran yang bersifat keagamaan (teologis) maupun kefilsafatan merasa perlu memberikan tanggapan dengan cara dan metodenya masing-masing.
Dalam konteks dunia Islam, persoalan kejahatan ini telah menyita energi dan pemikiran para filosof muslim, seperti al-Kindi, Ibnu Sina dan Mulla Shadra, serta kaum teolog khususnya Mu’tazilah. Adapun di Barat, akar sejarah perdebatan tentang theodicy ini setidaknya berasal dari para Epicurean, meski kerjanya yang tak terhitung sebenarnya telah dilakukan oleh kaum teolog dan filosof Kristen seperti St. Augustine. Akar permasalahan dalam perdebatan filsafat yang fundamental ini, baik di dunia Islam maupun Kristen, dapat dilacak dari jawaban para filosof terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalamnya. Secara umum, menurut Muthahhari, jawaban para filosof terhadap persoalan kejahatan berkisar pada tiga hal:
“Pertama, apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kebaikan dan kejahatan merupakan persoalan yang eksistensial dan realistis? Ataukah merupakan persoalan yang non-eksistensial dan relatif? Kedua, baik eksistensial atau non-eksistensial, apakah kebaikan dan kejahatan tersebut dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Jika tidak dapat dipilah-pilah, apakah alam dengan seluruh kebaikan dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, baik ataukah jahat? Yakni, apakah kebaikan lebih kuat ketimbang kejahatan, ataukah kejahatan lebih kuat ketimbang kebaikan, ataukah masing-masing tidak ada yang lebih kuat, melainkan keduanya seimbang. Ketiga, apakah kejahatan itu eksistensial atau non-eksistensial? Juga, apakah kebaikan itu dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Apakah kejahatan yang terjadi itu sama sekali tidak mengandung unsur kebaikan? Yakni, tidak mungkin menjadi pengantar atau sebab bagi kebaikan tertentu? Ataukah, bahwa pada relung setiap kejahatan terkandung satu unsur kebaikan atau bahkan lebih; dan bahwa setiap kejahatan itu menjadi sebab bagi satu kebaikan, bahkan lebih dari itu?”
Dari ketiga persoalan tersebut, ada kaum filosof yang memandang kebaikan dan kejahatan secara dualistik, sebagian mempertentangkan di antara keduanya, dan sebagiannya lagi mencoba membangun pemahaman yang lebih memandang wujud (being, existence) sebagai suatu sistem yang baik dan indah.

Problem Kejahatan dan Kaitannya dengan Keadilan Tuhan
Secara tradisional, menurut McCloskey, problem filosofis ini timbul dari adanya kontradiksi yang memerlukan penegasan bahwa Tuhan sebagai Pencipta Yang Maha Sempurna ada, dan kejahatan pun juga ada. Kontradiksi dimaksud adalah keadaan di mana manusia pada satu sisi dihadapkan pada keimanan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui dan sebagainya, namun pada lain sisi mereka juga menyaksikan beragam kejahatan dalam kehidupan.
 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote