Oleh Mohd. Sabri AR
Dari
abad ke-7 Hijriyah yang beku, teosof Ibn ‘Arabi
bersenandung:“Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri
perempuan.” Sebuah dentuman yang mengguncang, di tengah kuatnya arus
otoritarianisme religius kaum laki-laki. Pernyataan Ibn ‘Arabi dalam
Fushûsh al-Hikâm, itu lebih merupakan aksara yang menyimpul: tajalli,
sebuah doktrin ‘irfani tentang citra, penampakan, dan “manifestasi” Tuhan.
Perempuan dan laki-laki ibarat “sepasang tangan” Tuhan yang solid. Sachiko Murata menggambarkan dua aspek ini sebagai “yin-yang” yang bergerak tak kenal henti dan saling mengisi. Lingkaran putih mengandung unsur hitam dan terkontaminasi olehnya. Sebaliknya, lingkaran hitam mengandung unsur putih, dan tak dapat menampik kehadirannya. Relasi keduanya bahkan melampaui “oposisi biner” yang memprioritaskan satu hal di atas yang lain.
Dalam alegorisma Ibn ‘Arabi, relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang penuh ketegangan, tapi juga harmoni: jika laki-laki adalah “Langit” yang memberi, maka perempuan adalah “Bumi” yang menerima.
Perempuan dan laki-laki ibarat “sepasang tangan” Tuhan yang solid. Sachiko Murata menggambarkan dua aspek ini sebagai “yin-yang” yang bergerak tak kenal henti dan saling mengisi. Lingkaran putih mengandung unsur hitam dan terkontaminasi olehnya. Sebaliknya, lingkaran hitam mengandung unsur putih, dan tak dapat menampik kehadirannya. Relasi keduanya bahkan melampaui “oposisi biner” yang memprioritaskan satu hal di atas yang lain.
Dalam alegorisma Ibn ‘Arabi, relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang penuh ketegangan, tapi juga harmoni: jika laki-laki adalah “Langit” yang memberi, maka perempuan adalah “Bumi” yang menerima.