Merenungkan perkembangan gerakan di Nusantara, pola perilaku aktivis, desain visi misi dan skill,
ada beberapa catatan penting yang bisa dilihat; aktivis gagal membangun
karakter. Gagal merumuskan visi misi, mengkonsolidasi gerakan, dan
mundur cara berfikirnya.
Corak berfikir aktivis masih corak
berfikir 1998, padahal telah terjadi perubahan besar-besaran saat ini.
Aktivis juga gagal membangun kepemimpinan yang sehat, dan gagal
mengcounter kuasa hegemoni yang menerpanya.
Kekuatan karakter amat menentukan sukses
tidaknya rekayasa gerakan bersama. Karakter pergerakan dari periode ke
periode sejak berdirinya Sarekat Islam, Boedi Oetomo, revolusi 1945,
penggulingan Soekarno tahun 1966 dan reformasi 1998 semua memperlihatkan
kekuatan karakter pergerakan aktivis. Namun saat ini karakter itu
nyaris tidak dimiliki mahasiswa sehingga mengakibatkan pusaran
pergerakan mahasiswa tidak memiliki efek besar bahkan buruh dan FPI bisa
lebih baik dari gerakan mahasiswa.
Aktivis mahasiswa saat ini sebagian
besar masuk ke dalam pusaran kuasa dan kepentingan politik, menandakan
lemahnya karakter karena terwarnai oleh kekuatan sosial lain, sementara
dirinya sebagai kekuatan utama gagal membentuk warna.
Justru pergerakan mahasiswa lebih banyak
terlihat dengan pola sama, pola anarkis, kritis tapi tidak konstruktif.
Hal itu terlihat dengan aksi di Bima 2012, aksi Makassar 2010-2012,
aksi Pekanbaru dan Palu semuanya memperlihatkan model pergerakan yang
sama, model anarkis namun miskin gagasan progresif. Walaupun ada yang
konstruktif namun seakan tidak muncul ke permukaan selain pola konflik
dan kritis yang lebih dominan anarkismenya.
Pola seperti ini sama seperti yang
dialami ormas-ormas di Indonesia yang selalu mengedepankan otot dari ide
konsolidatif. Kemiskinan ide ini membuat hampir seluruh pergerakan
gagal menyatukan diri dalam visi
bersama. Kegagagalan membangin visi
bersama sungguh sangat kentara, dari berbagai varian pergerakan tidak
satupun yang berhasil membangun kekuatan yang utuh untuk mengkonsolidasi
ide dalam bentuk metodologi gerakan bersama.
Kegagalan membangun visi pergerakan
mahasiswa banyak dipengaruhi oleh tidak adanya kapasitas, tidak adanya
inisiatif, dan lemahnya konsistensi. Kapasitas mahasiswa akan menentukan
kualitas ide yang disodorkan untuk mempengaruhi kesadaran massif
masyarakat secara umum, pemerintah dan elemen stakeholder lainnya.
Sementara di sisi lain mahasiswa yang
menyadari keadaan ini tidak memiliki inisiatif yang konsisten untuk
memperbaikinya, jikapun ada yang mau namun setengah hati sehingga
posisinya menjadi galau sama dengan pemerintahan yang selalu menampakkan
muka galau di hadapan rakyat.
Tanpa ide dan karakter, penyatuan
gerakan mahasiswa tidak mungkin terjadi, karena setiap elemen kepemudaan
masing-masing memiliki konsentrasi ideologi dan warna gerakan yang
dianut. Akibatnya konsolidasi jadi mentah.
Kerapuhan Internal
Saat ini telah terjadi romantisme
historis di antara mahasiswa, sebagaian mahasiswa masih terjebak dalam
rona pesona masa lalu namun gagal melihat hari ini dan masa depan.
Terlihat dari pola fikir mahasiswa yang semrawut, terlalu umum dan sukar
mengukurnya. Padahal untuk bicara yang umum-umum itu, everybody knows, siapapun tahu, padahal the devil is on the detil. Kekuatannya itu ada pada penguasaan hal yang mendetil.
Pergulatan aktivis masih sebatas
epistemologi politik, epistemologi gerakan, dan terlalu banyak menguasai
konsep namun tidak satupun yang berhasil dijiwai dalam spesifikasi
keilmuan. Padahal kita ketahui arah baru zaman ini adalah
profesionalitas dan enterpreneurship.
Bagaimana bisa nyambung jika mahasiswa
masih berfikir terlalu dominan politik tanpa kapasitas spesifik, sama
seperti era 1998. Bedanya hanya konteks namun kontennya serupa. Hari
ini, berfikiran politik memang baik namun akan kerepotan sebab
orang-orang yang akan mengisi ruang publik hari ini ke depan sampai
tahun 2015 adalah kaum profesional dan enterpreneur. Kalau mahasiswa
1998 berfikiran umum dan politik maka itu masih kontekstual pada
zamannya karena dengan mudah akan masuk dewan, karena pengusaha akan
mem-back up-nya, namun saat ini para pengusaha dan profesional justru mau tampil di depan.
Lihatlah siapa-siapa yang meguasa partai
politik, Ical ketua Golkar pengusaha, Hatta Rajasa ketua PAN pengusaha,
Nasdem ada Surya Paloh dan group pengusaha MNC. Partai Gerindra ada
adiknya Prabowo termasuk Prabowo semuanya menggambarkan pengusaha.
Memang ada yang aktivis jadi ketua Partai yakni PKB Muhaemin Iskandar
dan Demokrat Anas Urbaningrum namun justru partai yang dipimpinnya
seakan mulai rontok dan berantakan. Ini merupakan isyarat zaman, tanda
yang harus dijiwai, dimaknai agar mampu menangkap perubahan yang terjadi
di negeri ini sebagai sebuah takdir sejarah.
Pada aspek lain, mahasiswa atau aktivis
gagal membangun kepemimpinan yang sehat, terlihat saat ada demonstrasi
2012 untuk merespon kebijakan kenaikan BBM namun sebagian besar
mahasiswa lewat KNPI diisukan ke China, kemudian mahasiswa secara
internal terjadi konflik yang gagal diterapi secara bijak sehingga
membuat lembaga koropos dengan sendirinya.
Bagaimana mungkin bisa mengkonsolidasi
jika di internal saja karut marut. Apa yang dijelaskan Abraham Maslow
bahwa kebutuhan manusia betingkat-tingkat, mulai kebutuhan pangan,
sandang, papan, kebutuhan rasa aman, sampai kebutuhan akan rasa cinta,
pengabdian dan kehormatan memberikan kita gambaran tahapan penting bahwa
kebutuhan dasar jika gagal diraih maka tidak mungkin bisa melompat pada
kebutuhan selanjutnya.
Tidak mungkin seorang yang kelaparan
akan berbicara keamanan sebelum dia memperoleh makanan karena itu adalah
hukum kebetuhan. Sama halnya aktivis mana mungkin membangun gerakan
jika di internalnya gagal merekayasa sistem yang sehat untuk kemajuan
bersama dan kesolidan gerakan.
Efeknya justru aktivis menjadi
bulan-bulanan dan sandera kepentingan elit. Seperti saat ini,
momen-momen strategis lembaga justru tidak berkualitas tanpa adanya
kuasa elit berjalan di dalamnya. Momentum kongres sebaga sarana
menyalurkan ide progresif justru ternodai kepentingan elit, sehingga
pikiran-pikiran positif perubahan tidak lagi menjadi penjiwaan menyapa
momentum strategis lembaga selain barter kuasa dominan elit.
Tersanderanya gerakan mungkin masih bisa
diatasi namun jika semua momentum besar sudah kosong ide perubahan,
sudah terkontaminasi maka mana mungkin gerakan mahasiswa akan memiliki
harapan untuk menciptakan perubahan bangsa ke arah positif. Inilah titik
nadir gerakan aktivis padahal harapan terbesar bangsa ini ada pada
mahasiswa sebagaimana pernah disinggung oleh Pramoedya Ananta Toer
“Hanya mahasiswa harapan perubahan karena posisinya tidak berada dalam
gelongan elit.” Itulah yang penulis bisa tangkapn ungkapan Pram dalam
sebuah wawancaranya.
Harapan
Meski demikian, tetap ada harapan dengan
mendorong beberapa hal penting, membenahi internalnya. Jangan sampai
gagal memetakan dan merumuskan visi kelembagaan secara internal karena
akan mudah dimasuki kelompok kepentingan.
Kemudian, membangun visi yang cemerlang
disertai metodologi pergerakan yang terukur. Visi yang baik akan bisa
menyolidkan kembali mahasiswa, harapan penyatuan akan bisa dilakoni
kembali.
Kebutuhan akan penataan pengetahuan ke
arah spesifik dan profesional sangat penting dilakukan agar wacana
mahasiswa tidak terjebat dalam rumusan epistemologi semata, yang akan
menyebabkan masturbasi pemikiran. Gagasan yang umum akan sulit
diaktualkan sehingga perlu adanya kesadaran individu dan kolektif untuk
membangun profesionalitas agar ide-ide mahasiswa bisa semakin
konstruktif tidak sekedar kritis saja.
Jika ini berhasil dilakukan maka
selanjutnya perlu membangun forum bersama untuk menciptakan konsolidasi
gerakan yang massif. Forum akan berfungsi menyatukan ide, gerakan dan
membuat pergerakan terukur dan tidak buang-buang energi. Gerakan
sendiri-sendiri oleh mahasiswa selama ini telah membuang banyak energi
tanpa hasil maksimal sehingga adanya forum akan bisa mengatasi kelemahan
tersebut.
Sumber: HMI News
0 komentar:
Posting Komentar