Judul Buku : Teologi Negatif Abu Nuwas Hasan Ibn Hani
Penulis : Moh. Hanif Anwari
Penerbit : LKiS
Tahun : Cet I, 2005
Halaman : xv + 156 halaman
Ukuran : 14,5 x 21 cm
ISBN : 979-98451-2-2
Abu Nawas adalah sosok yang unik, cerdik, sekaligus kontroversial, ia
sedang mengabaikan shalat dan ibadah haji, gemar minim khamr, suka merayu
perempuan, dan menyukai sesama jenis. Namun demikian dari pribadi yang secara
lahirlah banyak melanggar aturan agama inilah muncul sebagai Teologi Negatif,
sebuah pemikiran teologis yang berusaha mengungkapkan unsur-unsur substansial
dari ajaran agama yang telah direduksi oleh para penguasa Islam dalam
bentuk-bentuk eksistensial demi kepentingan mereka sendiri.
Nama lengkap tokoh ini
sebenarnya adalah Hasan bin Hani’ ‘Abd al Awwal bin as-Sabah. Ia dilahirkan di
daerah Ahwaz salah satu bagian kota Kazakstan di Iran pada tahun 145 H./762 M.
Ia hidup di lingkungan istana Abbasiyah di Baghdad sebagai pujangga istana.
Meski tinggal di lingkungan istana, ia tak sungkan dan tak takut mengkritik
penguasa istana dan juga penguasa agama. Sebagai seniman, kehidupannya sangat
eksentrik. Kegemaran utamanya adalah minum khamar (tuak), karena itu ia disebut
juga sebagai ‘penyair khamriyyat.’ Ia digambarkan memang sering melanggar
ajaran agama (syariat), mengolok-olok haji dan meremehkan shalat. Disamping
itu, ia juga mencintai perempuan di satu sisi dan di sisi lain ia juga mencintai
laki-laki.
Tingkahnya boleh jadi
merupakan kritik terhadap zamannya. Saat itu, ortodoksi keagamaan dan
primordialisme menguat. Padahal Abbasiyah yang demikian luas wilayahnya sangat
plural, bukan saja dalam konteks lingkungan internal Islam sendiri, tapi
komunitas-komunitas non-muslim juga tersebar dan bertumbuhan. Abu Nuwas
menentang diskriminasi terhadap komunitas non-muslim dan non-Arab. Tetapi
beberapa mereka yang dianggap ‘kritis’ terhadap hegemoni ajaran resmi ini kemudian dituduh zindik sebuah penghukuman teologis yang statusnya hampir setara dengan ‘kafir,’ diadili, dan bahkan sebagiannya ada yang dihukum gantung.
beberapa mereka yang dianggap ‘kritis’ terhadap hegemoni ajaran resmi ini kemudian dituduh zindik sebuah penghukuman teologis yang statusnya hampir setara dengan ‘kafir,’ diadili, dan bahkan sebagiannya ada yang dihukum gantung.
Karena pengabaiannya
terhadap ajaran agama, ia juga sempat dituduh para agamawan sebagai zindik.
Menariknya, Abu Nuwas selalu lolos dari pengadilan ini. Mengapa? Salah satu
sebabnya mungkin karena ia tetap setia sebagai seorang muslim monoteistis.
Alasan lain, ia mengungkapkan kritiknya melalui lelucon, anekdot, dan olok-olok
yang mengundang tawa. Tingkahnya, dalam banyak hal, boleh dibilang konyol. Para
agamawan menganggapnya sebagai ‘pelawak’ saja. Memang awalnya gelar zindik
lebih bersifat budaya saja dan dialamatkan ke mereka yang senang main-main,
berkelakar, dan pesta-pesta yang menjadi ciri kosmopolitanisme dan hibriditas
kehidupan Abbasiyyah zaman itu. Tetapi belakangan zindik dibawa ke level agama.
Aliran-aliran kepercayaan, sekte-sekte Majusi, bahkan penganut Zoroaster dan Budha,
serta yang lebih mencolok mereka yang mengkritik ajaran resmi juga dituduh
zindik.
Abu Nawas melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan dan para kaum agamawan. Perlawanan tersebut
dilakukan baik tentang budaya, agama, pahaman, maupun sistem pemerintahan.
Perlawanan ini disampaikan lewat puisi-puisi, lelulon, atau melalui
perbuatannya (perilaku) sendiri yang dianggap sesuatu hal yang aneh dan
terkadang melanggar aturan-aturan yang berlaku pada zaman itu.
Di Indonesia, yang sampai
kepada kita adalah citra Abu Nuwas sebagai pelawak. Tidak aneh, kalau ada
seseorang yang lucu, penuh anekdot, humoris, dan juga eksentrik seperti sosok
di kampung-kampung digelari dan dihubung-hubungkan sebagai ‘Abu Nuwas.’ Bahkan,
kejenakaan Abu Nawas terbawa hingga matinya.
Abu Nuwas memang terlanjur
dianggap dan menjadi gambaran orang yang tak serius, main-main, dan penuh
lelucon. Sisi lain sosok ini, sebagai pemikir dan teolog, hampir-hampir
terabaikan. Padahal kritik-kritiknya terhadap ortodoksi keagamaan, telah
membentuk apa yang disebut sebagai ‘teologi negatif,’ demikian ungkap Moh.
Hanif Anwari dalam Teologi Negatif, yang merupakan kajian pemikiran tokoh ini.
Teologi negatif mengajarkan bahwa manusia hanya mengetahui Tuhan dengan
mengetahui siapa-siapa dan apa-apa yang bukan-Tuhan.
Salah satu syair Abu Nawas
tentang Tuhan yang baginya merupakan Dzat yang ramah, Mahamengampuni,
Mahamengasihi. Syairnya berbunyi sebabagai berikut:
Hai Abu Nawas, jadilah orang
terhormat, baik, sabar.
Waktu telah merusakmu dengan harta dan
dengan keinginan yang lebih banyak menyenangkanmu.
Hai pendosa besar, ampunan Allah itu
lebih besar daripada dosamu.
Sebesar-besarnya sesuatu itu masih lebih kecil dibandingkan dengan
ampunan Allah yang paling kecil.
Abu Nawas mempunyai patung
yang berdiri tegak hingga sekarang kota di Baghdad dan di akhir hidupnya Abu
Nawas banyak menulis puisi zuhud, tampak demikian akrab dan bahkan seperti
terkesan bercanda saja dengan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar