Ada gemuruh yang menghentak dari sebuah buku, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, karya
fenomenal Noreena Hertz. Buku, yang lahir dari hasil riset 'kehidupan
demokrasi' di sejumlah negara berkembang, itu jadi 'saksi':
tangan-tangan korporasi multinasional punya tenaga untuk mengubah 'masa
depan' kehidupan masyarakat suatu bangsa, bahkan negara bersangkutan
secara radikal. "Kekuatan" itu lalu mengancam demokrasi suatu negara.
Hal tersebut, antara lain disebabkan korporasi multinasional memiliki
'kekkuatan ekonomi' yang melampaui ketangguhan ekonomi sebuah negara.
Noreena, lebih jauh mengungkapkan: "Dari 100 pundi ekonomi terbesar
dunia saat ini, 51 dari itu dikuasai oleh korporasi-korporasi
internasional, dan hanya 49 yang berada "di tangan" negara-bangsa (nation
state)."
Noorena Hertz, menyebut kekuatan ekonomi korporasi multinasional
tersebut pada urutannya berujung pada "kematian demokrasi" (the death of democracy).
Dari
perspektif yang dikembangkan Noreena Herzt tersebut terbit sejumlah
kesangsian: adakah demokrasi, sebagai 'proyek hegemoni Barat' telah
gagal meyakinkan "penggunanya" sebagai sesuatu yang memiliki
kemaslahatan? Atau jangan2 hal tersebut menjadi indikasi jika warga kini
membutuhkan sebuah sistem 'baru' dalam mengonstruk kekuasaan politik
bangsa-negaranya? Apakah masih relevan mempertahankan secara hidmat, fox populi fox Dei: Suara
Rakyat, Suara Tuhan: di tengah-tengah gemuruh kaum kapital yang
menghamburkan uang di setiap kancah, dan setiap level pertarungan
politik demokrasi, seperti terlihat dengan kasat mata di tanah air?
Bagaimana pula kita merespons: hasrat 'telogis-normatif' sekelompok umat
Islam Indonesia yang menginisiasi konsep Khilafah Islamiyah sebagai
solusi bagi kebuntuan demokrasi dengan satu pertimbangan: bahwa
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di seluruh Dunia Islam? Saya
lantas sadar dengan sebuah ungkapan arif: "setiap generasi berhak
menulis ulang sejarahnya"..salam
Sumber: Mohammad Sabri AR
0 komentar:
Posting Komentar