Kehidupan manusia setidaknya sejak 50.000 tahun
SM, pernah membentang empat zaman lithos (batu) yakni; palaeolithicum, mesolithicum,
neolithicum, dan megalithicum dimana hidup-mati manusia diyakini sangat
tergantung dengan alam. Keempat era lithos ini tentunya diklasifikasi dan
diperiodesasi berdasarkan fungsi, kreasi dan kesadaran kosmik yang dikembangkan
manusia saat itu dalam ketergantungannya terhadap alam sekitar.
Yang menonjol dalam megalithicum adalah manusia
telah memfungsikan batu tidak lagi sekedar peralatan memenuhi kebutuhan
konsumsi. Mereka telah menggunakan batu berukuran besar dalam rupa dan simbol
tertentu, untuk kepentingan spiritual. Manusia telah memiliki kesadaran kosmik
dan teistik yang meski sederhana tetapi berpadu begitu tinggi. Mereka
membangun sarana religius atau pemujaan dari batu-batu sebagai tempat ruh para leluhur bersemayam. Paling utama mempercayai bahwa batu-batu itu memiliki kekuatan mistik, berpengaruh besar terhadap kehidupan.
membangun sarana religius atau pemujaan dari batu-batu sebagai tempat ruh para leluhur bersemayam. Paling utama mempercayai bahwa batu-batu itu memiliki kekuatan mistik, berpengaruh besar terhadap kehidupan.
Carnac Stone, Menhir, Devils Marbels, Punden
Berundak, Dolmen, Sarkofagus, Peti Kubur, Arca Batu, Waruga dan Pokekea, adalah
situs-situs megalitichum yang masih nampak. Batu-batu tersebut oleh para ahli
dipercaya sebagai sarana penyembahan terhadap leluhur serta memiliki
kekuatan-kekuatan ghaib lainnya. Batu memiliki nilai sakral dalam kaitannya
dengan peradaban manusia.
Tetapi itu megalithic yang di indonesia berlangsung
kurang lebih sejak 2500-1500 tahun sebelum tarikh masehi. Kini, setelah tarikh
masehi berjalan 2015 tahun, urusan kita dengan bebatuan nampak tetap awet,
diantaranya batu mulia. Biasanya batu ini akrab dengan orang tertentu yang
jiwanya condong pada soal-soal kesaktian, kekuatan magis, dan hal lain yang
serupa. Misal saja “sandro” dan orang-orang yang diam-diam bangga dipuji sakti.
Tentu saja dengan satu-dua ikat cincin batu melilit jari; batu mustika (kulau)
atau batu mulia tertentu. Di sini, batu memiliki ruang spesial, keramat, sepi
dan jauh dari tema perbincangan publik.
Lalu tiba-tiba, batu cincin, “meledak” menjadi
perbincangan yang tidak bisa lagi disebut sekedar pengisi waktu lowong. Batu
telah mewarnai space media, warung kopi, pasar, pantai wisata, kantor
pemerintah dan yang pasti mewarnai batang jari-jemari utamanya para lelaki.
Tidak main-main. Ada yang menggunakan hingga tiga batu; dua di kanan satu di
kiri, belum termasuk koleksi yang tersimpan rapi dan aman. Di makassar,
kerumunan peminat batu bisa memacetkan jalan. Bacan, pirus, safir, lavender,
opal, zamrud, diamond, ruby, topaz, giok, serta puluhan jenis batu berderet
untuk disebutkan dan membutuhkan kompotensi khusus untuk dapat mengenal
karakter pembedanya masing-masing. Layaknya megalithicum, tidak sedikit orang
indonesia meyakini bahwa batu-batu itu baik digunakan karena memiliki khasiat
natural-magis yang dapat mempengaruhi secara positif hidup penggunanya, baik
fisik, materil maupun spiritual; aura, kharisma, pesona, hoki, rejeki, karir
dan lain-lain.
Lebih jauh, batu lalu berhasil menembus pasar
“selera” indonesia, dari kota hingga ke kampung paling pojok. Pasar kecil di
kampung saya terbilang pelosok yang buka dua kali sepekan, kini ikut dipadati
oleh tidak kurang dari empat stand lesehan pedangang batu. Sejumlah rumah
bahkan telah menyulap mesin pompa air menjadi mesin pemutar gurinda untuk
membentuk batu, membeli stock serbuk intan untuk pengkilap, serta aneka bentuk
pengikat batu. Di sini eksplorasi batu dilakukan. Dengan mengabaikan keyakinan
terhadap kekuatan natural-magic, batu-batu lokal didesain sedemikian rupa
mengandalkan motif dan warna di samping bentuk, ukuran dan struktur. Tentu saja
batu lokal tidak seharga dengan sederet jenis batu yang lebih dulu tenar
berkelas batu mulia, tetapi apresiasi terhadap batu lokal semakin luas.
Merebaknya selera masyarakat umum terhadap batu
dapat ditafsir secara spekulatif. Pertama; semacam sisa-sisa nafas
desakralisasi dan mungkin sekularisasi ―baik yang didesakkan oleh rasionalisme
maupun monoteisme― terhadap apa yang diyakini sebelumnya atas kekuatan magis
batu. Relasi manusia terhadap batu bertransformasi menjadi layaknya relasi tuan
terhadap abdinya. Jika menyenangkan dipakai, harganya bisa melangit. Jika
tidak, ya diabai tanpa harga sama sekali. Kedua; life style, sejumlah tokoh
penting terekam menggunakan cincin batu, dan segera saja menjadi acuan. Ketiga;
dominasi kelas batu dalam terminologi batu mulia mulai bergeser. Tendensi orang
terhadap batu justru murni alasan estetika. Seseorang mungkin tidak peduli pada
keutamaan magis sebuah batu cincin besar warisan sandro kharismatik dan tenar.
Tetapi ia tetap saja secara sadar dan senang menggunakan batu cincin besar
bergaya sandro.
Kegandrungan umum terhadap batu menjelang dua
setengah abad tarikh masehi ini, bisa jadi tidak berlangsung lama. Pasalnya, ia
muncul dalam era posmodernisme yang mencirikan diri dengan kecepatan perubahan.
Sejatinya kita tidak sedang senang dengan apapun kecuali satu; perubahan super
cepat. Jika dikaitkan dengan batu, mungkin boleh era ini disebut sebagai
sub-era posmolithicum.
Banga Pinrang, 01 Februari 2015
Sumber: Hamdan eSA
0 komentar:
Posting Komentar