Matsnawi-i-Ma`nawi, judul lengkap buku ini yang berarti ‘karangan
bersajak tentang makna-makna’ yaitu makna-makna terdalam ajaran agama,
merupakan salah satu dari karya agung dunia yang ditulis pada abad ke-13
dalam bahasa Persia, bahasa Dunia Islam ke-2 setelah bahasa Arab.
Pengarangnya Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang zaman,
yang telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk mencari
kebenaran-kebenaran terdalam dari ajaran agama, kekuatan dari kebenaran
tersebut sebagai pendorong dan pembimbing umat manusia dalam membentuk
kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng.
Pencarian yang
panjang itu telah membawa sang sufi ke dalam penjelajahan dan
pengembaraan ruhani yang berliku-liku dan penuh rintangan, namun buahnya
adalah pengalaman dan kebahagiaan ruhaniah yang lezat dan tidak
ternilai harganya. Semua itu memperkuat keyakinan sang sufi bahwa,
seperti dikatakan al-Qur’an (50:6), “Tuhan lebih dekat (pada manusia)
dibanding urat lehermu sendiri” dan “Dia selalu bersamamu (“wa huwa
ma`akum ayna-ma kuntum QS 57:4) ). Lagi, “Ke mana pun kau memandang akan
tampak wajah
Allah” (QS 2:115). Kandungan ayat suci ini tidak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan pantheistik, sebab yang dimaksud sebagai wajah Allah ialah ‘wajah rohani’ atau ‘rupa batin’ Tuhan yang hanya dapat disaksikan dalam pikiran dan perenungan yang dalam, yaitu sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (al-rahman dan al-rahim), yang terdapat kalimah Basmallah dan ayat kedua Surat al-Fatihah. Para sufi menyebut sifat-sifat ilahiyah ini baik sebagai mahabbah maupun `isyq. Keduanya sama-sama berarti cinta, namun `isyq adalah cinta yang berlipat ganda dan sangat kuat hingga menimbulkan dorongan kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti kecintaannya yang mendalam.
Allah” (QS 2:115). Kandungan ayat suci ini tidak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan pantheistik, sebab yang dimaksud sebagai wajah Allah ialah ‘wajah rohani’ atau ‘rupa batin’ Tuhan yang hanya dapat disaksikan dalam pikiran dan perenungan yang dalam, yaitu sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (al-rahman dan al-rahim), yang terdapat kalimah Basmallah dan ayat kedua Surat al-Fatihah. Para sufi menyebut sifat-sifat ilahiyah ini baik sebagai mahabbah maupun `isyq. Keduanya sama-sama berarti cinta, namun `isyq adalah cinta yang berlipat ganda dan sangat kuat hingga menimbulkan dorongan kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti kecintaannya yang mendalam.
Inilah tema
penting dan pokok karya para pengarang sufi dalam bahasa apa pun dia
menulis, Arab, Persia, Turki, Urdu, Shindi atau pun Melayu.
Al-Rahman adalah cinta Allah yang dilimpahkan bagi segenap makhluk-Nya
tanpa pilih bulu, sedangkan al-rahim adalah cinta yang diberuntukkan
bagi orang yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Dari kata-kata
al-rahim inilah kata-kata rahim dalam bahasa Melayu/Indonesia berasal.
Cinta Tuhan kepada orang mukmin yang taqwa dan beramal saleh merupakan
cinta yang istimewa dan wajib diberikan sebagaimana cinta seorang ibu
kepada anak kandungnya. Cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud
batinnya itu dipandang oleh para sufi sebagai asas kejadian atau
penciptaan alam semesta, sebab tanpa al-rahman dan al-rahim-Nya tidak
mungkin alam dunia yang begitu menakjubkan dan penuh kenikmatan ini
dicipta oleh Yang Maha Kuasa yang sekaligus Maha Pengasih dan Penyayang.
Selain itu cinta juga merupakan asas bagi perkembangan dan pertumbuhan,
serta perluasan dan pertahanan dari keberadaan makhluq-makhluq –
terutama manusia.
Ahli-ahli tasawuf juga percaya bahwa cinta
merupakan asas dan dasar terpenting dari keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam, ketaqwaan dan keimanan seseorang akan
rapuh. Hilangnya cinta dalam segala bentuknya dalam diri sebuah umat
akan membuat peradaban dan kebudayaan dari umat tersebut akan rapuh dan
mudah runtuh. Di lain hal dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta
melengkapi jalan ilmu atau pengetahuan.
Peradaban dan kebudayaan
umat manusia tidak akan berkembang subur apabila hanya didasarkan pada
ilmu beserta metodologi dan tehnologi yang dihasilkan dari ilmu. Cinta
menyempurnakan jalan ilmu, sebab cinta merupakan dorongan terpendam
dalam diri manusia untuk selalu mencari yang sempurna dalam hidupnya.
Dorongan menimbulkan kehendak, hasrat dan kerinduan mendalam, dan
dengan demikian cinta menggerakkan manusia berikhtiar sekuat tenaga
dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang
dilengkapi jalan cinta juga membuat seseorang mampu mencapai makrifat
(ma`rifa) atau kebenaran tertinggi yang merupakan rahasia terdalam dari
ajaran agama.
Ibn `Arabi menuturkan tentang jalan ilmu dan jalan cinta sebagai berikut, “Ada tiga bentuk pengetahuan.
Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi
dan kumpulan fakta-fakta serta teori belaka, dan apabila pengetahuan ini
digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual melampaui batasnya,
maka ia disebut intelektualisme.
Yang kedua menyusul pengetahuan
tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan
asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun
orang yang memiliki ilmu ini tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan
hidupnya sendiri. Inilah yang disebut emosionalisme.
Yang ketiga
ialah pengetahuannya yang disebut Pengetahuan tentang Hakikat.
Pengetahuan ini membuat manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang
benar, mengatasi bayasan-batasan pikiran biasa dan pengalaman empiris.
Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan
pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua.
Yang lain memadukan keduanya, atau memakai salah satu dari keduanya
secara berganti-ganti. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran
ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakikat
yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini. Itulah sufi sejati,
darwish yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.”
Cinta juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan merubah
keadaan jiwa manusia yang negatif menjadi positif. Itulah antara lain
yang diajarkan Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M,
ketika umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling
buruk dalam sejarah klasiknya. Di sebelah barat Perang Salib yang telah
berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus
mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Di sebelah timur bangsa Mongol
di bawah pimpinan Jengis Khan dan anak-cucunya menyapu bersih dan
memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan
besar-besaran Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada
tahun 1256 M. Kota Baghdad luluh lantak menjadi puing-puing dan ratusan
ribu penduduknya dibantai sehingga bekas ibukota kekhalifatan Abbasiyah
dan pusat utama peradaban Islam ketika itu berubah menjadi kota mati
untuk belasan tahun lamanya.
Akibat Perang Salib yang terjadi
secara bergelombang dan serbuan tentara Mongol yang menyapu bersih
hampir seluruh negeri kaum Muslimin itu, tidak terkira penderitaan yang
dihadapi kaum Muslimin. Mereka seperti tak lagi berdaya dan tak mampu
membangun kehidupannya. Di tengah suasana yang diliputi keputus-asaan
yang mendalam inilah para sufi, ulama dan cendekiawan Muslim bangkit
mengajarkan pentingnya Cinta transendental yang memiliki kekuatan
merubah jiwa manusia dari negatif ke positif.
Dalam bukunya The
Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaluddin Rumi (1980) Annemarie
Schimmel, salah seorang penulis Eropa terbesar abad ini mengenai sastra
sufi, mengatakan tentang peranan ahli tasawuf pada abad ke-13 sebagai
berikut, “Cukup mengherankan bahwa periode yang penuh bencana politik
ini pada saat yang bersamaan merupakan periode yang penuh dengan
kegiataan keagamaan dan tasawuf.
Gelapnya kehidupan duniawi
dijawab dengan maraknya kegiatan spiritual yang entah apa tenaga
pendorongnya. Nama sejumlah penyair, sarjana agama, ulama besar, seniman
kaligrafi terkemuka bermunculan, walaupun abad ini terutama sekali
merupakan zaman pemimpin tasawuf… Pendek kata, hampir di setiap pelosok
dunia Islam dijumpai wali-wali, guru keruhanian, penyair dan pemimpin
besar dalam ilmu tasawuf. Di tengah gelapnya kehidupan politik dan
ekonom, mereka tampil membimbing khalayak ramai menunju dunia yang tidak
terganggu oleh perubahan, menyampaikan kepada mereka rahasia cinta yang
memang harus dicapai melalui penderitaan, dan (mereka pula) mengajarkan
bahwa kehendak Tuhan dan cinta-Nya dapat tersingkap melalui bencana dan
kemalangan…”.
Tentang cinta ilahiyah Syekh Ahmad Hatif
menuturkan, “Belahlah hati atom: dari tengah-tengahnya kau akan
menyaksikan bola surya yang bersinar-sinar. Jika segenap yang kaumiliki
diserahkan pada Cinta, kau tak akan kehilangan sedikit pun dari yang
kaumiliki. Jiwa berjalan melalui panasnya api Cinta dan kau menyaksikan
betapa jiwa berubah. Jika kau membuang sempitnya dimensi hidup duniawi,
dan berkeinginan menyaksikan ‘waktu’ dari segala sesuatu yang tidak
bertempar, kau akan mendengar dan menyaksikan apa yang belum pernah
kaulihat…Kau akan mencintai Yang Esa dengan hati dan jiwa, sehingga
dengan mata yang sebenarnya kau akan menyaksikan Tauhid…” **
Jalaluddin al-Rumi adalah seorang ahli tasawuf dan penyair sufi Persia
terbesar sepanjang sejarah. Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin
Husyain al-Khatibi al-Bahri. Takhallus atau nama julukan al-Rumi
dikenakan kepadanya dirinya, karena sang sufi menghabiskan sebagian
besar hidupnya di Konia, Turki, yang dahulunya merupakan bagian dari
wilayah kemaharajaan Rumawi Timur.
Pada masa Rumi penduduk kota
itu terdiri dari orang-orang Arab, Persia, Turki, Yunani, Armenia dan
Yahudi. Orang-orang Kristen keturunan Yunani dan Armenia juga masih
banyak terdapat di situ, dan tidak sedikit di antara mereka pernah
menjadi murid Rumi. Rumi dilahirkan pada tanggal 6 Rabi’ul Awal 604 H
sama dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang. Ketika
itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi
yang beribukota di Bukhara, Transoksiana.
Rumi wafat pada tanggal
5 Jumadil Akhir tahun 672 H sama dengan 16 Desember 1273 M di Kunya.
Ayah Rumi, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah
seorang ulama terkemuka dari Ballkh, Afghanistan sekarang. Pada abad
ke-12 dan 13 M Balkh merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi,
di Transoksiana Asia Tengah, dengan ibukotanya Bukhara.
Pada
tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin
Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh tanpa alasan yang jelas.
Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khwarizmi ketika
itu, Muhammad Khwarizmi-syah, menentang keberadaan Tariqat Kubrawiyah
yang dipimpin oleh Bahauddin Walad.
Pendapat lain yang tidak
sedap ialah karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara
Mongol yang ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi.
Tetapi pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan
Jengis Khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan
bagan-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke
Asia Tengah.
Bahauddin Walad mula-mula membawa keluarga menuju
Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh
tahun. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan
Khwarizmi yang tengah dilanda krisis internal, sekonyong-konyong diserbu
oleh Jengis Khan sebagai pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang
Mongol yang dikirim ke Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu
keluarga Rumi telah meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama
keluarga Rumi melakukan perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju
Damaskus. Pada akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal
terakhir yang menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di
Kunya, Anatolia. Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini
termasuk wilayah kemaharajaan Rumawi Timur atau Byzantium.
Pada
akhir abad ke-11 M Kunya direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di
Anatolia hingga abad ke-13 M. Rumi mula-mula mempelajari tasawuf dari
ulama terkenal bernama Burhanuddin al-Tirmidhi. Tetapi guru
kerohaniannya yang sebenarnya ialah Syamsudin al-Tabrizi atau Syamsi
Tabriz.
Sebelum tampil sebagai ahli tasawuf dan sastrawan
terkemuka, Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan
pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu
formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa
murid-muridnya. Sebelum jiwa dan pikiran seseorang mendapat pencerahan,
menurut Rumi, tidak akan perubahan itu terjadi.
Setelah
mempelajari tasawuf, Rumi menyadari bahwa dalam diri manusia terdapat
suatu tenaga tersembunyi, yang jika dijelmakan sungguh-sungguh dengan
cara yang tepat akan dapat membawa manusia meraih kebahagian dan
pengetahuan luas. Tenaga tersembunyi itu ialah Cinta Ilahi (`isyq).
Ketika itulah, yaitu pada tahun 1244-5 M. Rumi berjumpa seorang darwish
agung dari Tabriz (ibukota Daulah Ilkhan Mongol di Persia pada masa itu)
bernama Syamsiddin al-Tabrizi. Pertemuan dengan Syamsi Tabriz ini
merubah total kehidupan Rumi.
Syamsi Tabriz adalah pemimpin
tasawuf yang suka mengembara dari suatu ke kota lain, tanpa memikirkan
harta dan keselamatan jiwanya. Dia tidak pernah merasa takut akan
maraknya peperangan yang masih berkecamuk di tempat-tempat yang dia
lalui. Dia benar-benar faqir dalam arti sebenarnya. Dia mengajarkan pada
orang-orang Islam yang putus asa dan kebingungan disebabkan penjarahan
yang dilakukan pasukan Mongol dan Salib. Yang diajarkan ialah kekuatan
Cinta Ilahi dalam merubah nasib manusia dan apabila manusia berikhtiar
untuk meraihnya maka ia akan dapat merubah nasibnya itu. Dia juga
mengajarkan agar umat Islam senantiasa memerangi kelemahan-kelemahan dan
kebodohan-kebodohan yang bersarang dalam dirinya, terutama disebabkan
ajaran Jabbariyah dan faham yang mengutamakan taqlid.
Selama
berada di Konia khutbah-khutbah yang disampaikan Syamsi Tabris sangat
memikat penduduk. Kepribadian tokoh ini juga memberi kesan mendalam
terhadap Rumi. Sejak saat itulah Rumi tidak pernah mau berpisah dari
gurunya yang baru itu. Kemana pun sang darwish pergi, Rumi muda selalu
mengikutinya.Hingga tiba saatnya keduanya harus berpisah: Syamsi Tabriz
diusir oleh ratusan murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya di Kunya
dan terpaksa pergi ke kota lain. Rumi merasa sedih dan kerinduannya
terhadap gurunya memaksanya juga pergi meninggalkan Kunya untuk
memperdalam ilmu tasawuf.
Ketika itu Rumi telah berusia 37 tahun
dan pertemuannya dengan Syamsi Tabriz membuat bakatnya sebagai penyair
hidup kembali. Maka lahirlah syair-syair yang indah dari tangannya
bertemakan cinta dan kerinduan mistikal. Tetapi seperti dikatakan Syamsi
Tabriz, cinta dapat mentransformasikan jiwa seseorang menjadi lain.
Rumi bukan saja mengalaminya. Cintanya pada gurunya yang tak kunjung
dijumpainya lagi sejak perpisahannya yang terakhir, kini berubah menjadi
cinta transendental, yaitu cinta ilahiyah. Maka ia pun mengakhiri
pengembaraannya dan kembali ke Kunya untuk mengajarkan penemuannya yang
baru dalam ilmu tasawuf kepada murid-muridnya. Sejak itu Rumi bukan saja
masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian, melainkan juga
sebagai sastrawan agung dan budayawan terkemuka di seantero Dunia Islam.
Sebagai penyair atau sastrawan Rumi melahirkan karya yang tidak
sedikit. A. J. Arberry sebelum menulis bukunya Classical Persian
Literature (1958) telah meneliti karya-karya Rumi dalam banyak naskah di
berbagai tempat. Dia mendapatkan bahwa Rumi telah menulis tidak kurang
dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal (sajak-sajak cinta mistikal),
ruba’i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima teratur AABA yang
sangat populer dalam sastra Persia) dan matsnawi, karangan bersajak
seperti prosa berirama dalam sastra Melayu.
Kecuali dia juga
menulis karangan prosa termasuk rasa`il (wacana ilmiah) dan khitabah
(khotbah). Karangan puisi dan prosa dikumpukan beberapa bunga rampai
seperti berikut:
1. Divan-Syamsi-i-Tabriz.
Diwan adalah
semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra Arab. Dalam
sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlaq
dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya
ini Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta
transendental yang diaihnya di jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari
36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk
ghazal.
2. Matsnawi-i-Ma`nawi.
Artinya karangan bersajak
tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan
karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi
enam jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila
Divan-i-Syamsi Tabrizdiilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz,
Matsnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang
murid dan sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar
Rumi bersedia memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk
karya sastra seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sana’i dan Mantiq
al-Tayr karya Fariduddin al-`Attar. Rumi memenuhi permohonan itu. Kitab
ini selesai dikerjakan setelah 12 tahun sejak dituturkan oleh Rumi
kepada Husamuddin. Afzal Iqbal dalam bukunya Life and Works of Rumi
(1956) menyebutkan buku ini terdiri dari 25,000 bait prosa lirik,
sedangkan Encyclopaedia Britanica (vol.. XIX, 1952) menyebutkan terdiri
dari 40.000 bait.
Abdul Rahman al-Jami, sufi Persia abad ke-15 M,
menyatakan bahwa Matsnawi merupakan ‘tafsir al-Qur’an yang indah dalam
bahasa Persia’ (Hast Qur’an dar zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir
oleh Jami ialah ta’wil atau tafsir keruhanian terhadap ayat-ayat
al-Qur’an yang ditulis dalam bentuk karangan bersajak yang indah. Buku
ini dianggap sebagai karya sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai didaktik
dan sastranya mengagumkan. Setiap jilid memuat pendahuluan dalam bahasa
Arab, dan selanjutnya penulisnya menggunakan bahasa Persia. Rumi
menguraikan dalam bukunya itu keluasan dari lautan semangat keruhanian
dan perjalanan manusia menuju dunia dan dari dunia menuju kebenaran
hakiki.
3. Ruba`iyat.
Walaupun tidak terkenal seperti
Divan dan Matsnawi, namun sajak-sajak dalam antologi ini tidak kurang
indah dan agungnya dari sajak Rumi yang lain. Bunga rampai ini terdiri
dari 3.318 bait puisi. Melalui kitabnya ini Rumi memperlihatkan dirinya
sebagai salah seorang penyair lirik yang agung bukan saja dalam sejarah
sastra Persia, namun juga dalam sejarah sastra dunia.
4. Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam).
Kumpulan percakapan Rumi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya.
Buku ini membicarakan terutama sekali persoalan-persoalan berkenaan
dengan masalah sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya.
Ia sekaligus merupakan bukti bahwa seorang sufi seperti Rumi juga giat
membicarakan persoalan sosial dan keagamaan yang hangat pada zamannya.
5. Makatib.
Kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya
Syalahuddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi
mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di
dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya
berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.
6. Majalis-i-Sab`ah.
Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan majlis-majlis
keagamaan. F. C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh terkemuka
mistisisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica).
Mistisisme
jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan
kesebatangkaraan diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan,
yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa
sebatang kara, mistikus cinta berusaha menanggalkan ‘diri khayali’ yang
rendah (nafs) dan pergi menuju diri yang lebih agung, Diri Hakiki.
Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluq yang paling
mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama manusia mampu
berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan dan
imaginasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani
menuju Diri Hakiki dan kebakaan, di mana Yang Satu bersemayam.
Rumi – sebagaimana telah dikemukakan — berpendapat bahwa untuk memahami
kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya
melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta
adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah
keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi
malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis,
cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin,
keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan
dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi,
dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu
hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal
kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi
berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam
menstransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu.
Kata Rumi: Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit Setiap saat
mencampakkan ratusan hijab Mula-mula menyangkal dunia (zuhd) Pada
akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad Cinta memandang dunia benda-benda
telah raib Dan tak mempedulikan yang hanya tampak di mata … Ia memandang
jauh ke balik dunia rupa Menembus hakikat segala sesuatu (Divan) .
Dalam bait puisinya yang lain dalam Divan, Rumi mengatakan bahwa Jalan
Cinta dalam tasawuf berangkat dari diri yang satu dan menuju ke diri
yang lain. Yang pertama adalah nafs yang rendah yang merupakan diri yang
palsu dan sering diidentikkan dengan hawa nafsu. Sedangkan yang kedua
merupakan diri hakiki, yang di dalamnya terpancar keindahan ilahiyah
dari Sang Pencipta. Diri palsu atau hawa nafsu ini diumpamakan sebagai
’orang asing’ oleh Rumi dalam sebuah puisinya:
Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain,
Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini,
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing,
Siapa orang asing itu kecuali nafsumu yang berlebihan pada dunia?
Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu
Selama hanya tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan
Jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh
Di bagian lain dalam Matsnawi sang sufi menuturkan:
“Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala:
Berhala benda ialah ular, berhala jiwa ialah naga/
Menghancurkan berhala itu mudah, namun menganggap mudah/
Menghancurkan hawa nafsu itu tolol/
Wahai Anakku, apabila kauingin mengetahui bentuk hawa nafsu/
Bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya/
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat/
Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir’aun dan bala tentaranya terjerumus.” **
Apa relevansi karya Rumi bagi dunia seperti sekarang, khususnya bagi
kita di Indonesia? Sebaiknya kita kutip saja pandangan Iqbal, seorang
tokoh pembaharu pemikiran keagamaan, “Filosof-penyair kebangkitan Timur”
dan ”Jembatan Antara Pemikiran Barat dan Timur” sebagaimana dinyatakan
Annemarie Schimmel 1972.
Sebuah puisi Iqbal dalam antologinya Pas
Chih Bayad Kard Ay Aqwam-i Sharq (Apa Yang Harus Dilakukan
Bangsa-bangsa Timur) berjudul ”Kepada Matahari Yang Menerangi Dunia”
khusus ditujukan kepada Rumi. Iqbal menyebut Rumi sebagai Raushan Damir,
yaitu orang yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu
membaca rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang
tersembunyi.
Dari Rumi kita dapat memetik banyak pelajaran
bagaimana membenahi jiwa umat yang sedang kusut dan morat-marit.
Pikiran-pikiran Rumi yang profetik (’mengandung pesan kenabian’)
memiliki tenaga pembebasan dan pencerahan, terutama bagi mereka yang
bersedia meresapi ajaran Rumi secara mendalam.
Pertama, menurut
Iqbal, Rumi mengajarkan bahwa masyarakat tidak dapat didorong menjadi
aktif tanpa apa yang disebut sukr dan junon, yaitu keadaan jiwa dan
pikiran (state of mind) yang diliputi rasa mabuk kepayang dan
anthusiasme ketuhanan. Sebagai keadaan jiwa dan pikiran yang menguasai
diri seseorang, keduanya timbul dari dorongan Cinta yang kuat sehingga
seseorang menjadi berani menggapai sebuah cita-cita walau pun harus
menempuh berbagai kesukaran serta menuntut pengurbanan diri.
Kedua, pada zaman modern ini begitu banyak orang yang lupa bahwa jiwa
dan ruhani sebenarnya lebih penting dari benda-benda. Rumi mengajarkan
bahwa pikiran tidak bermanfaat apabila tidak didasari spiritualitas.
Suatu masyarakat tidak pula memiliki sendi-sendi kehidupan sosial dan
politik yang kuat apabila tidak memiliki moral yang tangguh dan
spiritualitas yang tinggi.
Ketiga, Rumi senantiasa mengingatkan
bahwa masyarakat yang sedang mengalami krisis yang multi-dimensi perlu
mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari agama, bukan hanya
bentuk formal peribadatannya, aspek legalistik formal dan bentuk
doa-doanya.
Rumi juga mengingatkan agar manusia mau mempelajari
betapa pentingnya hubungan agama dengan politik. Di sini sang Sufi
berbicara tentang Politik Islam, bukan tentang Islam Politik. Islam
Politik adalah upaya menjadikan Islam sebagai kendaraan politik untuk
mencapai tujuan tertentu di bidang politik seperti meraih dukungan massa
dan mencapai kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh maka massa
pendukungnya pun segera ditinggalkan. Politik Islam adalah sebaliknya,
ialah bagaimana melakukan kegiatan politik dan menjalankan kekuasaan
berdasarkan moral Islam yang mengutamakan keadilan.
Dalam bukunya
Javid Namah, Iqbal mengecam para cendekiawan Muslim yang sebagian besar
acuh tak acuh terhadap pembinaan pribadi dan pendidikan umat. Mereka
membiarkan pemerintahan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
berkeahlian dalam bidangnya, tidak memiliki wawasan kebudayaan yang
luas, rakus serta mementingkan diri sendiri, sedangkan umat dibiarkan
miskin, bodoh dan terkebelakang, serta jahil terhadap hakikat sebenarnya
dari ajaran agama dan kebudayaan Islam.
Keempat, Rumi mengatakan
bahwa apabila manusia telah berhenti menjadi makhluq keruhanian dan
cenderung menjadi makhluq kebendaan, maka akan mudah dilanda nihilisme
dan keputus-asaan yang hebat. Jika sudah demikian pertahanannya akan
rapuh melawan krisis yang setiap kali bisa datang dalam hidupnya,
apalagi dalam suatu masyarakat yang tatanan sosial dan kehidupan
ekonominya belum mantap, sebagaimana dihadapi kaum Muslimin pada abad
ke-13 M di bekas wilayah kekhalifatan Baghdad.
Hal yang sama
berlaku pula bagi kebudayaan. Tanpa dilandasi nilai-nilai dan cita-cita
ruhani yang mantap, kebudayaan suatu bangsa akan mudah rapuh dan
akibatnya suatu bangsa akan mudah diombang-ambingkan bangsa lain yang
lebih kuat.
Kebudayaan yang tidak dilandasi nilai agama dan
ruhani tidak pula bisa bertahan lama, serta tidak bisa dijadikan
landasan untuk menciptakan jati diri. Tanpa memiliki kebudayaan suatu
beragama tidak akan mampu pula menciptakan sejarah dan menegakkan
keberadaan dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain.
Kelima,
agar manusia selamat maka tujuan hidupnya harus ditegakkan di atas
keabadian atau nilai-nilai yang abadi, bukan di atas kesementaraan atau
nilai-nilai yang bersifat sementara. Segala yang bersifat sementara,
seperti halnya tubuh jasmani, mudah lapuk, begitu pula dengan
materialisme, hedonisme material, konsumerisme, relativisme budaya dan
lain-lain yang sejenis.
Rumi tampil sebagai tokoh terkemuka pada
zamannya setelah menyadari bahwa banyak orang di sekelilingnya memeluk
suatu agama disebabkan situasi-situasi tertentu yang tidak disadari
penyebabnya. Setelah mereka memeluk suatu agama dan memperoleh
pengetahuan formal tentang agama yang diianutnya mereka pun merasa puas.
Dalam kenyataan perilaku, kepribadian dan pikiran mereka tidak
mengalami perubahan yang berarti. Begitu pengajaran yang diberikan
kepada mereka selama ini ternyata tidak dengan serta merta mampu
mendorong hati dan perasaan mereka tumbuh dengan baik, dalam arti
tertuju pada sesuatu yang lebih positif dan bermakna. Perilaku, jiwa,
kepribadian dan pemikiran seseorang bisa berubah apabila sikap,
pandangan hidup dan gambaran dunia (worldview) dalam jiwa mereka
mengalami perubahan. Agar itu bisa terjadi maka kesadaran batinnya harus
dirubah. Ini merupakan tugas ilmu-ilmu agama, khususnya tasawuf dan
falsafah.
Rumi juga berpendapat bahwa pikiran seseorang akan
terang dan memperoleh ’pencerahan’ apabila orang tersebut memiliki
perasaan positif terhadap segala sesuatu. Rumi menyadari – dalam
pengalamannya – bahwa pertentangan berlarut-larut yang timbul antar
golongan masyarakat, juga di kalangan penganut agama yang sama namun
berlainan madzab, sering terjadi karena satu sama lain tidak saling
mengetahui keadaan masing-masing.
Sebagai seorang guru yang telah
bertahun-tahun mengajar berbagai ilmu kepada santrinya, Rumi insaf
bahwa ternyata ilmu syariat, fiqih dan ilmu mantiq (logika) yang
diajarkan kepada murid-muridnya ternyata tidak lebih sebagai sarana
belaka, yang bisa saja melahirkan kebaikan atau keburukan.
Semua
itu mendorong Rumi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya:
Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan
cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa
orang beriman berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan?
Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama
besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya
untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka
menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab
suci gagal dalam tindakan dan muamalah? Jika rasa cinta tumbuh dalam
diri seseorang, mengapa sikapnya lantas berubah, pemahaman yang segar
lantas muncul dan perbedaan pendapat tentang hal-hal yang bersifat furu’
lantas dilupakan?
Sebagai karya religius dan profetik Matsnawi
memang bukan sebuah buku falsafah yang ditulis secara sistematis dan
runut. Ia berbeda misalnya dengan Kasyf al-Mahjub Ali Utsman al-Hujwiri,
Ihya` Ulumuddin Imam al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah Ibn `Arabi.
Dalam karya agungnya itu Rumi menyebarkan pemikiran, gagasan dan
perenungannya dalam untaian karangan bersajak yang indah, menggunakan
metafora (ishti`ara),tamsil dan kias. Kalau Imam al-Ghazali dan Ali
Utsman al-Hujwiri menggunakan bahasa diskursif dari falsafah dan ilmu,
Jalaluddin Rumi menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz). Kedua cara
memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa
dari masing-masing pembacanya.
Whinfield, salah seorang
penerjemah karangan Rumi dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa Matsnawi
merupakan pemaparan tasawuf eksperiensial atau yang dialami secara
langsung oleh pengarangnya. Ia bukan merupakan uraian tentang apa dan
bagaimana tasawuf. Melalui karyanya Rumi mengungkapkan pengalaman dan
gagasan keagamaannya secara puitik. Sedangkan kodrat pengalaman yang
disajikan Rumi dalam karyanya benar-benar bersifat keagamaan, yaitu
suatu pengalaman yang tidak semata-mata dipompa oleh pemikiran falsafi
dan pengetahuan formal tentang agama, melainkan suatu pengalaman yang
memiliki daya dan corak hidupnya sendiri disebabkan oleh dorongan
’cinta’ yang membara dalam diri orang yang mengalaminya. Cinta bagi Rumi
memiliki arti sebagai “Perasaan sejagat”, “Sebuah ruh persatuan dengan
alam semesta”. Cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan yang melekat
dalam diri manusia, tabib segala kelemahan dan dukacita. Cinta juga
adalah kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta. Dan
cinta púlalah yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita.
Makin seseorang mencintai, makin larutlah ia terserap dalam
tujuan-tujuan ilahiyah kehidupan. Dalam tujuan-tujuan ilahiyah
penciptaan inilah manusia memperoleh makna yang sebenarnya dari
kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang memberinya kebahagian
rohaniah yang tidak terkira nilainya.
Sumber: Abdul Hadi W. M.
Jakarta 12 Desember 2003
0 komentar:
Posting Komentar