Bank yang tersebar di negeri banjir itu bernama Grameen.
Nasabah yang disasar adalah kaum miskin dan papa Bangladesh. Dalam Bank ini semua
orang miskin, juga para pengemis, dapat memperoleh kredit tanpa agunan.
Muhammad Yunus, pendiri Bank Grameen, percaya bahwa jika diberi modal, jutaan
orang miskin dapat menciptakan keajaiban dengan usaha kecil mereka.
Hingga akhir 2006, Bank Grameen telah mengucurkan kredit
kepada hampir 7 juta peminjam di 73.000 desa. Para peminjamnya kebanyakan
perempuan. Mereka memakai kredit untuk memulai usaha kecil, membangun rumah dan
membiayai sekolah. Khusus untuk para pengemis, Bank Grameen menyediakan kredit
tanpa bunga. Peminjam boleh membayar kapan pun dengan jumlah berapa pun. Mereka
diberi ide agar membawa barang seperti makanan, mainan dan kebutuhan rumah
tangga saat mereka meminta-minta dari rumah ke rumah. Lebih dari 85.000
pengemis ikut program ini. Pinjaman untuk mereka biasanya sekitar Rp 120.000.
Berkat Bank Grameen, separo lebih nasabah telah melewati
garis kemiskinan dan 5.000 pengemis berhenti meminta-minta. Yakin bahwa
kemiskinan adalah acaman perdamaian, Panitia Nobel 2006 menganugerahkan
penghargaan Nobel Perdamaian kepada Muhammad Yunus dan Bank Grammen.
“Perdamaian,” kata Yunus, “terancam oleh tatanan ekonomi, sosial dan politik
yang tidak adil, tiadanya demokrasi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran
hak-hak asasi manusia.”
Dengan memberikan kredit kepada kaum papa, Yunus melawan
kemiskinan sebagai langkah awal untuk perdamaian. Bagaimana gagasan kredit
tanpa agunan ini muncul?
***
Semua itu bermula sekitar tigapuluh tahun lalu ketika
Bangladesh sedang dilanda kelaparan hebat. Yunus mengajar di salah satu
universitas di negerinya. Di ruang kelas ia mengajarkan teori ekonomi yang
muluk-muluk dengan antusiasme seorang yang baru lulus dari Amerika Serikat.
Namun, selesai mengajar, begitu keluar kelas, ia langsung melihat kerangka hidup
berkeliaran di sekelilingnya: orang-orang yang sekarat, tinggal menunggu ajal.
“Saya merasa,” tutur Yunus, “apa pun yang telah saya
pelajari, apa pun yang saya ajarkan, hanya merupakan khayalan, yang tak punya
arti bagi kehidupan orang-orang itu. Karena itu, saya mulai mencoba mengetahui
bagaimana orang-orang yang tinggal di kampung sebelah universitas kami itu
menjalani kehidupan mereka. Saya ingin tahu apakah ada sesuatu yang dapat saya
lakukan sebagai sesama manusia, untuk menunda atau menghentikan kematian,
walaupun hanya menyangkut satu orang saja. Saya pun meninggalkan pola pandang
seekor burung, yang memungkinkan kita untuk melihat segala-galanya jauh dari
atas, dari langit. Saya mulai mengenakan pandangan mata seekor cacing, yang
berusaha mengetahui apa yang saja yang terpapar persis di depan mata – mencium
baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan.”
Yunus pun bertemu dengan seorang ibu yang membuat dingklik
dari bambu. Setelah panjang lebar berbicara dengannya, ia menemukan bahwa
sehari ibu itu hanya menghasilkan 2 sen dolar Amerika (Rp. 200).Yunus
tak percaya bahwa seseorang yang dapat bekerja begitu keras dan membuat
dingklik bambu dengan begitu indah, memperoleh penghasilan sebegitu kecil.
Rupanya, karena tak punya uang untuk membeli bambu, ibu itu
harus meminjam dari seorang pedagang. Orang inilah yang memaksakan seluruh
aturan peminjaman: Ibu itu harus menjual dingklik buatannya hanya kepada
pedangan itu, dengan harga yang ditentukan olehnya.
Maka jelaslah bagi Yunus, bahwa ibu itu tak lain daripada
pekerja yang terikat oleh pedagang tersebut. Ketika ditanya, berapa sebenarnya
berapa harga bambu itu? Ibu itu bilang, “Oh, sekitar dua puluh sen (Rp 2.000);
atau duapuluh lima sen untuk yang bagus sekali.”
Yunus pun berpikir, “Ada orang yang menderita hanya karena
tidak punya uang dua puluh sen, dan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan?”
Nurani Yunus gemuruh dengan suatu pergulatan apakah ia harus memberinya dua
puluh sen. Tetapi kemudian sampailah ia pada gagasan lain, yaitu membuat daftar
orang-orang yang memerlukan uang seperti itu. Ia kemudian mengajak seorang
mahasiswanya keliling kampung selama beberapa hari. Akhirnya mereka memiliki
daftar empat puluh dua orang seperti ibu tadi.
“Ketika saya menjumlahkan total uang yang mereka perlukan,”
tutur Yunus, “Saya mendapat kejutan yang paling besar dalam hidup saya: jumlah
total uang itu hanya dua puluh tujuh dolar (Rp270.000)! Pada saat itu saya
merasa malu terhadap diri sendiri, karena menjadi bagian dari suatu masyarakat
yang tidak bisa menyediakan uang sejumlah dua puluh tujuh dolar, bagi empat
puluh dua orang yang memiliki keahlian dan semangat untuk kerja keras.
“Untuk menghapus rasa malu itu, saya mengambil uang dari
kantong saya, dan memberikannya kepada mahasiswa saya tadi. Saya katakan,
‘Ambilah uang ini dan berikan kepada keempat puluh dua orang yang kita temui
itu. Katakan kepada mereka bahwa uang ini adalah pinjaman, dan mereka dapat
membayarnya kembali kepadaku kapan saja mereka bisa. Nah, sementara itu mereka
dapat menjual produk mereka kepada siapa pun yang akan memberi bayaran yang
baik.’”
Setelah menerima uang itu orang-orang sungguh bersemangat.
Melihat itu, Yunus berpikir, tentang apa yang harus dilakukannya sekarang: ”
Saya berpikir mengenai cabang bank yang ada di kampus universitas kami, dan
saya menemui manajernya, serta menyarankan agar dia meminjamkan uang kepada
orang-orang yang telah kami temui di kampung kami tadi. Dia kaget, seperti
jatuh dari langit! Katanya, ‘Anda gila apa? Itu tak mungkin. Bagaimana mungkin
kami meminjamkan uang kepada orang-orang miskin? Mereka tidak layak untuk
menerima kredit.’”
Yunus membujuknya dan bilang, “Sekurang-kurangnya cobalah,
siapa tahu … toh uang yang bakal terlibat hanya sedikit.”
Tanggapan yang diperolehnya, “Tidak akan. Aturan kami tidak
memungkinkan hal itu. Mereka tidak dapat memberi jaminan, dan jumlah sekecil
itu juga tidak layak diberikan sebagai pinjaman.” Ia hanya disarankan untuk
menemui pejabat yang lebih tinggi, di hierarki perbankan di Bangladesh.
Yunus pun mengikuti saran itu dan menemui orang yang
bertugas pada perkreditan. Semua orang mengatakan hal yang sama kepadanya.
Setelah beberapa hari berkeliling mencari orang yang dapat diajak bicara,
akhirnya ia menawarkan diri sebagai penjamin: “Saya akan menjadi penjamin semua
pinjaman itu. Akan saya tandatangani apa pun yang harus saya tandatangani.
Setelah mendapat uangnya, saya akan menyerahkan kepada orang-orang yang saya
kehendaki.”
Jadi, begitulah mulainya. Yunus terus-menerus diingatkan
bahwa orang-orang miskin yang menerima uang itu tidak akan mengembalikannya.
“Herannya,” tutur Yunus, “mereka mengembalikan setiap sen kepada saya. Saya
jadi amat bersemangat, dan kembali lagi kepada manajer bank tadi, ‘Lihat,
mereka membayar pinjaman mereka; jadi tak bakal ada masalah!’”
Tetapi manajer bank itu bilang, “Ah, jangan mudah tertipu.
Mereka sedang membodohi Anda. Coba saja, mereka pasti akan segera meminjam uang
lebih besar, dan tak akan pernah mengembalikan kepada Anda.”
Yunus menerima tantangan itu: “Saya pinjamkan uang lebih
besar, dan pada saatnya mereka mengembalikan pinjaman mereka. Saya ceritakan
hal ini kepada manajer tadi, tapi katanya, ‘Yah, barangkali Anda bisa melakukan
hal ini di satu desa, tapi kalau Anda melakukannya untuk dua desa, ini tidak
akan jalan.’”
Yunus segera melakukannya untuk dua desa – dan ternyata
jalan. Begitulah, akhirnya seakan-akan terjadi pergulatan antara dirinya dengan
manajer bank tadi, juga sejawatnya di posisi struktural yang lebih tinggi.
Mereka terus mengatakan bahwa itu tak akan jalan untuk jumlah yang lebih besar,
misalnya lima desa. Karena itu, Yunus melakukannya untuk lima desa, dan
ternyata setiap orang mengembalikan pinjamannya. Orang-orang bank tadi masih
saja tak mau menyerah. Mereka bilang, “Sepuluh desa. Lima puluh desa. Seratus
desa.”
Jadilah semacam perlombaan di antara Yunus dan mereka.
Setiap kali ia datang kepada mereka, membawa hasil yang tentu tak mereka tolak,
karena uang itu adalah uang mereka, tetapi tetap saja mereka tidak menerima ide
Yunus, karena mereka dididik dengan pemahaman bahwa orang miskin tidak layak
mendapat pinjaman. Menurut mereka, orang miskin tidak bisa diandalkan.
“Untungnya, saya tidak dididik seperti itu,” tutur Yunus.
Akhirnya muncul gagasan dalam benak Yunus: “Kenapa saya
harus berusaha membuat mereka yakin? Saya sendiri amat percaya bahwa orang
miskin dapat mengambil uang pinjaman dan membayarnya kembali. Kenapa tidak
mendirikan bank sendiri? Gagasan ini membuat saya bersemangat, maka saya
menulis proposal dan menghadap pemerintah untuk mendapat izin untuk mendirikan
bank. Saya memerlukan waktu dua tahun untuk meyakinkan pemerintah.”
Akhirnya, pada tanggal 2 Oktober 1983 berdirilah Bank
Grameen, Bank Orang Miskin. “Betapa bersemangatnya kami semua, ketika kami
memiliki bank kami sendiri, dan kami dapat melakukan ekspansi sekehendak kami.
Dan Nyatanya kami terus berkembang.” (Stephen R. Covey, The 8th
Habit: Melampaui Efektivitas Menanggapi Keagungan (Jakarta: Gramedia,
2006), hlm. 12-18)
***
Itulah Muhammad Yunus dan Bank Grameen. Tidakkah kita bisa
menapaki jalan serupa lewat Credit Union Bererod Gratia yang sudah kita miliki?
Sumber:
http://ratnaariani.com
0 komentar:
Posting Komentar