
Semua masih dalam kegelapan, tiada cahaya, tiada udara, tiada yang ada. Semua masih dalam
ketiadaan. Terang pun tak terpahami karena kegelapan pun tiada. Semua dalam kenisbian. Tiada yang perlu dipahami, karena yang
memahami pun tiada.
Tidak ada yang
mesti dihitung
dengan bilangan-bilangan numerik, karena penghitung dan yang terhitung pun tak ada.
Hari pun tak diketahui, karena matahari pun tak ada. Bulan, bumi bahkan semesta
pun masih dalam persembunyiannya.
Dari ketiadaan itu datanglah sang
‘ada’. Setitik cayaha yang menjadi penanda.
Suatu penanda bagi kehidupan. Titik itu
perlahan semakin menunjukkan
sinarnya. Mengembang menjadi besar dari
suatu titik yang belum terpahami. Cayaha itu menunjuk suatu ruang yang kosong yang
tak satu pun ‘ada’. Perlahan demi perlahan, ruang semakin jelas. Di sana ada
lautan yang maha luas. Lautan yang hanya
menampakkan dirinya sendiri. Tak ada apapun
selain dirinya dan cayaha itu sebagai
penunjuknya.
Sang Laut itu surut sedikit demi
sedikit dihisap oleh sang cahaya. Darinya muncul sesuatu, layaknya “tempurung
kelapa”. Suatu permukaan yang bukan
tak
berair. Tidak lagi cair permukaannya, tapi padat. Ternyata, sang laut menyadari
kesendirian dan kesunyiannya. Sang laut tak ingin sendiri. Ia menghadirkan sesuatu yang lain pada
dirinya untuk menjadi kawannya.
“Dataran”. Ya, daratan. Sang laut ingin menegaskan eksistensinya dengan
mendapat pengakuan dari sang darat. Di sana ada recognize for desire. Karena kebermaknaan dirinya tidak akan pernah
terketahui tanpa adanya pengakuan sang darat. Begitu pula sebaliknya. Sang
Darat menjelaskan eksistensinya pada sang laut.
Sang
darat pun
semakin melebarkan sayapnya, menyeberangi batas teritori kedaratannya. Namun ia
juga sadar akan dirinya bahwa ia akan selalu dibatasi dan terbatasi oleh sang
laut. Ia menyadari dirinya sebagai akibat dari sebabnya. Dan dari diri inilah tumbuh pepohonan rindang dan hutan belantara yang
luas. Sang darat begitu dermawan, memberikan peluang kehidupan kepada yang
lain. Dirinya seperti rahim yang menghendaki apa pun keluar dari zulbinya.
Inilah bumi yang pertama dan bumi yang tertua. Bumi yang bernama Tanah Toa.
Di
tempat ini, tiba-tiba terdampar sePasang manusia, laki-laki dan perempuan, dari
lautan yang maha luas itu. Entah dari mana asalnya dan bagaimana kehadirannya.
Tidak dapat diketahui, karena batas nalar tak mampu mengungkapnya. Manusia yang
menjadi penghuni pertama daratan. Anak-anaknya kelak menyebutnya dengan Ammatoa (bapak pertama/ bapak yang
tertua) dan perempuan yang bersamanya adalah Anrong (ibu). Belum sempat waktu terhitung, langit seketika
bergemuruh dan petir menyambar. Dari kilatan itu, datanglah sosok (bukan makhluk) yang menyambangi Ammatoa. Ammatoa
tak menampakkan kepanikan atas kedatangan yang bukan mahkluk itu, seolah mereka
sudah saling mengetahui satu sama lain. Tak ada yang bertanya tentang
asal-muasal atau pun sebab-sebab kedatangan. Semuanya terpahami dalam sesuatu
bahasa yang lain, bahasa tanpa lisan dan tanpa tulisan. Yaitu, bahasa yang
tidak tercakapkan.
Sosok
yang bukan mahkluk ini tidak pernah dimanai oleh Ammatoa.Karena
memang Ia tak bernama. Jika pun ia bernama, terlalu sakral untuk disebutkan. Ammatoa hanya menyebutnya dengan Tu Riek Akrakna (yang maha berkehendak).
Ketika terjadi perjumpaan itu, antara Ammatoa
dan Tu Riek Akrakna, Tu Riek Akrakna menitipkan Pasang (pesan) kepada Ammatoa, “Jagai lino lollong bonene, kammaya tompa langika, rupa tauwa siagang
boronga. Inni sitojek-tojekna linoa
pammantangannu anrongnu. (Peliharalah
dunia ini beserta isinya, demikian juga langit dan hutan. Pada dasarnya, dunia
tempat permikimanmu ini adalah ibumu).” Ammatoa
hanya dapat menerima Pasang dan
menjalankannya. Ia tidak punya untuk menolak. Pasang-Pasang pun datang secara kontiniu (berlanjut) kepada Ammatoa semasa
hidup membumi. Bahkan Pasang-Pasang itu berlanjut hingga ke generasi-generasi Ammatoa
setelahnya.
Setiap
prosesi pergantian dan pelantikan Ammatoa,
Tu Reik Akrakna hadir memberikan Pasang-Pasang-nya. Pasang menurut Ammatoa tidak
dapat ditambah maupun dikurangi. Pasang
harus sama yang
dulu, sekarang dan yang akan datang. Pasang
tidak pernah salah, hanya manusia yang salah dalam melaksanakannya.
Setelah
Pasang yang pertama itu di sampaikan Tu Riek Akrakna kepada Ammatoa, ia pun menuju borongkaramaka (hutan keramat) dan aklinrung (menggaibkan diri) di sana.
Sehingga dalam kepercayaan Ammatoa,
hutang itu begitu sakral. Selain karena tempat aklinrung-nya Tu Riek Akrakna juga adalah perintah Pasang.
Ammatoa
bersama Anrongta
sebagai
penghuni bumi pertama bercengkrama bersama menepis sunyi. Dari hubungan keduanya, mereka
dikarunia tujuh orang anak. Dari masing-masing anaknya kecuali anaknya yang
keenam, diberikan tugas yang berbeda oleh Ammatoa
untuk menjaga segenap bumi ini: Anak
Pertama, menjadi Galla Pantama,
yang statusnya berfungsi sebagai kepala pemerintahan dalam struktur
pemerintahan adat yang dipimpin langsung Ammatoa;
Anak Kedua, Galla Lombok, bertugas
mengurus masalah pemerintahan pada daerah perluasan yang dikuasai Ammatoa; Anak Ketiga, Galla Anjuru, bertugas mengurus
persoalan laut; Anak Keempat, Galla
Kajang, bertugas mendampingi Galla
Pantama dalam setiap acara ritual adat; Anak Kelima, Galla Puto, bertugas sebagai juru bicara
Ammatoa; sedangkan Anak Ketujuh,
menjadi pengganti Ammatoa. Selain
masing-masing tugas ini, Ammatoa selalu
memesankan anaknya untuk tetap teguh menjaga serta menjalankan perintah Pasang.
Setelah
semua itu,
tugas-tugas itu dimandatir Ammatoa
kepada anaknya, Ammatoa
pun aklinrunrung (menggaibkan diri)
di hutan keramat.
***
Binatang
malam menyanyi riuh di luar rumah. Bersorak-sorai dan bercanda dengan malam.
Aku hanya duduk termenung dengan kepala yang bersandar pada salah satu tiang
penyangga rumah menikmati
imaji liar di dunia lain. Di hadapanku hanya lilin kecil hasil karya penghuni
rumah yang aku pun tak tahu darimana
bahannya.
Kami duduk berdua bercengkarama di tikar daun talas di sebuah rumah panggung yang berukuran kira-kira
enam kali enam meter ini. Tanpa kursi, tanpa meja, ataupun perabot lainnya. Tiba-tiba suara yang
ku kenal menyambar telingaku membangunkanku dari lamunan. Mengembalikanku pada
alam sadarku. Aku baru saja larut dalam
ceritanya.
Membangun imaji yang seolah kehadiranku berada di ruang dan waktu yang ia
ceritakan.
“Nulanggereja ana’ (Nak, apakah kau
mendengarku)?”. Tanya laki-laki paruh baya di hadapanku yang baru saja menceritakan
mula tau (awal manusia), awal semesta
dan awal sistem adat daerah ini yang telah menjadi kepercayaan masyarakat
setempat. Laki-laki yang ada di hadapanku adalah suami dari saudara nenekku.
“Iye’ bohe’, kulanggerejaki” (iya kek,
saya manyimaknya). Jawabku. Kata iye’
digunakan masyarakat setempat, di mana ibuku menumpang melahiranku, sebagai
diksi yang lebih sopan kepada lawan bisa dibandingkan kata iya. Kata iya hanya
digunakan ketika berbicara dengan yang sebaya dengan kita.
“Jari ana’, pakuainjo
anak caritanna Pasanga na kammayyanni pa’rasanganta. Ikatte akrakna ampiarai Pasanga.
Kaikattekatte ngaseng rupa taua, passulukanta battu ri ammatoa sitijek-tojekna.”(Jadi
nak, begitulah cerita dalam Pasang,
sehingga keadaan sekitar kita begini. Kita di sini (yang berada dalam
lingkungun adat) hanya menjaga Pasang.
Karena kita semua adalah anak cucu Ammatoa).
“Anggurai na talariek
ri pa’rasanganta inni bohe’, sikuntu apa-apa buttu panrakka? Appada
barang-barang ni bungkusua?”(Mengapa di tempat ini kek, semua yang
berasal dari luar itu ditolak? Misalnya barang-barang kemasan).
Ka injo, nakua Pasanga;
parek tau kebo’. Pare’ tau keboka pammanrakinnaji lohe, sikiddikkale
pammajikinna.(Karena dikatakan di dalam Pasang; bahwa itu adalah produksi para
penjajah. Dan para penjajah itu memproduksi sesuatu yang lebih sedikit kebaikannya
daripada kebaikannya).
Aku
terdiam sejenak mendengar
jawaban ini. Terkesima sekaligus tertampar. Akhirnya aku ciptakan cermin dalam
diriku sendiri, seperti orang yang bercermin dan bertanya pada bayangnya. Bagaimana orang yang hidup di sini jauh lebih kritis daripada sebagian orang yang
mengaku berpendidikan seperti saya ini?
Bahkan
mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Bagaimana mereka
lebih tahu bahkan lebih kritis, sementara
hanya bereferensi Pasang?
Mereka tidak tau membaca, apalagi menulis. Tapi ia lebih tahu bahwa makanan
seperti Indomie misalnya, memiliki mudarat yang lebih banyak daripada
manfaatnya. Pertanyaan ini mengusik pikirangku, bahkan menghantuiku. Cermin
diriku belum bisa menjawabnya. Apakah betul, yang mereka maksud Pasang
yang disabdakan Ammatoa
adalah firman-firman Tuhan? Ataukah
itu hanya refleksi batin? Jika itu refleksi batin, darimana mereka mendapatkan
pengetahuan sebelumnya sebagai suatu fakta yang harus direfleksi? Aku mencoba
mengabaikan semua itu. Biarlah
itu menjadi bahan refleksiku sendiri. Yang jelas, jawaban yang baru saja aku
dengarkan itu membungkam dan merobohkan egoisme intelektualku. Dalam pikirku
sekarang, bagaimana malam ini aku mendapat lebih banyak pengetahuan tentang
kearifan masyarakatku.
Semua masyarakatnya yang tinggal di wilayah
ini sangat menjaga kelestarian lingkungan. Mereka menjaganya karena
diperintahkan dalam
Pasang. Luas wilayah ini sekitar
tujuh kilometer persegi. Terdiri dari 90 ha persawahan, 74 ha perkebunan dan
317 ha hutang. Hutan itu sendiri yang disebut dengan hutan keramat. Hutan ini
dipercayai sebagai tempat berlindung para roh-roh leluhur mereka, sehingga menjadi
area terlarang untuk dimasuki.
Merusak hutan sama halnya dengan
merusak bumi, dan merusak bumi adalah merusak angrongta (ibu kita). Bumi ini adalah ibu
bagi masyarakat. Jadi, bagaimana mereka ingin merusak buminya, jika yang
dirusak itu adalah ibu. Bagaimana mereka bertindak yang tidak semestinnya kepada ibunya, jika ibu
sebagai sumber kehidupannya. Dan bagaimana mereka bisa mengingkari titah Tu Riek Akrakna, jika kelak Ia akan
datang menuntut pertanggungjawaban.
Aku
melihat ciri yang paling nampak dari masyarakat di sini adalah semuanya
berpakaian hitam. Ketika aku bertanya kepada kakekku, “mengapa mereka memakai pakaian
yang serba hitam, dengan baju berwarna hitam, sarung hitam, dan sehelai kain
hitam dililitkan di kepala layaknya seorang pendekar tanpa memakai sandal (alas
kaki)? Ia hanya menjawabnya bahwa, “ini adalah Pasang nak; “anrek lekleng
toa, anrek lekleng lolo, lekleng situju-tuju, lekleng kabusuji (tidak ada
hitam yang ketua-tuaan, tidak ada hitam yang kemuda-mudaan, semua hitam adalah
netral, sekali hitam tetap hitam). Bukankan yang demikian adalah simbol
kesetaraan? Bukankah
pakaiannya ini mengandung makna yang dalam dan filosofis? Bahkan termasuk tamu
sekalipun yang hendak memasuki kawasan ini, semuanya harus berpakaian hitam dan
tidak memakai sandal. Akan tetapi mereka diberikan konvensasi, pakaiannya tidak
seperti masyarakat setempat yaitu, pakaian yang diproduksinya sendiri. Tamu
bisa memakai pakaian yang dibeli di tokoh.
Di
tempat ini, aku tak menemukan kendaraan kecuali kuda tunggangan yang digunakan
sebagai kendaraan menuju sawah dan ladang mereka. Kata kakekku ini, semua
jenis kendaraan diharamkan memasuki
kawasan ini. Jika ada yang melanggar aturan ini, maka sebagai sangsinya, ia
tidak boleh menginjakkan kakinya di kawasan ini seumur hidupnya. Motor adalah
pruduksi tau kebo’ yang dapat
menjauhkan mereka dari nilai-nilai Pasang.
Walau mereka tidak tahu, bahwa hasil
pembakaran motor dapat menyebabkan polusi udara. Mereka hanya tau Pasang melarang itu. Pasang lebih
utama dari apapun. Kebenaran Pasang
adalah kebenaran absolut. Hanya manusia saja yang dapat melenceng.
Aku
menikmati kesejukan wilayah ini. Suatu kesejukan lahir dan batin. Terpaan angin
yang menghempas tubuhku begitu segar, selaksa angin surgawi. Udara yang
kuhirup, seperti udara yang telah lama dirindu oleh paru-paruku. Kedamaian dan
kerukunan aku simak, karena ia seperti dalam imaji yang telah aku impikan
bertahun-tahun. Bahkan “Pancasila” yang selalu aku diskusikan, termanifestasi
di tempat ini. Aku mencoba untuk bandingkan
dengan tempatku yang hampir
aku tak lagi menemukan tempat-tempat sejuk. Angin-angin telah bersetubuh dengan
debu. Udara telah bercampur dengan polusi. Dan setiap harinya aku selalu
mendengar berita pembunuhan.
Sebelum
mereka menikah, setiap orang di tempat
ini wajib menanam dua pohon. Tidak akan dibolehkan seseorang untuk menikah
sebelum ia menanam dua pohon. Jika aku bertanya, kenapa begitu? Kakekku hanya
menjawabnya, “itu Pasang.” Selain
itu, jika ada yang menebang satu batang pohon, maka ia berkewajiban untuk
menanam dua batang pohon. Pasang
mengatakan; “akak kajunna appakalompo
tumbusia, raung kajunna anggonta bosi (akar kayu memunculkan mata air, daun
kayu memanggil hujan)”. Bukankah dalam sains juga begitu. Bukankah dalam
penelitian sudah dibuktikan, pohon-pohon yang sudah ditebang menunjukkan curah
hujan yang kurang, karena pohon-pohon mampu mengurangi kecepatan angin,
sehingga mengurangi penguapan air dari tumbuhan yang terlindung olehnya? Kok,
mereka tau, padahal mereka tidak pernah meneliti itu? Bagaimana mereka
mengetahui semua itu? Ditempat ini sungguh menundukkan pseudo intelektualku.
“Anak, tabe’, latinroa
pale rolo’ inakke, manna mukopi isseng nani pattarrusuki. Kainakke toama bela
(Nak, maaf, saya istirahat dulu, biar besok kita lanjutkan lagi, karena sudah
tua)”. Ujar kakek paruh baya yang duduk di hadapanku, memberiku segudang ilmu
yang tak ternilai. Ia bergegas menuju ruang belakang, sambil menunjukkan tempat
tidurku.
“Iye’ bohe’(Iya, kek).” Jawabku.
Aku
tidak dapat tidur malam itu. Telah kucoba menutup rapat mataku, tapi juga tak
bisa terlelap. Aku masih disandera
dengan segudang pertanyaan dari balik cermin diriku. Dalam tanyaku, bagaimana mereka di tempat yang terisolasi ini lebih sadar
lingkungan dibanding dengan negara-negara Eropa yang mengklaim diri sebagai
pusat peradaban hari. Mereka bahkan membangun kesadaran lingkungannya sebelum negara-negara
Eropa teriak
mengkampanyekan “Go Green”. Mereka sungguh menanam kearifan dan kebajikan yang “terbumikan”. Konsistensi
hidup ala Pasang telah menjadi diri
mereka dan way
of life mereka.
Keteguhan menanam pohon di tempat ini telah menjadi habitus bagi mereka. Hidupnya adalah
menanam. Menanan dan menanam. Mereka menanam bukan karena melawan, sebagaimana
slogan; “menanam adalah melawan”, tapi mereka menanam karena Pasang. Mungkin lebih tepat dikatakan,
“menanam adalah Pasang”. Sedangkan Pasang
adalah sabda sang Ammatoa¸dan
firman dari Tu
Riek Akrakna.
Penulis : Muhammad TakbirMalliongi
Editor : Rhibaz Pencari Keesempurnaan
Sangat mengerikan bung, helai rambut halus tak kuasa hingga kuduk ketika pesan demi pesan dihayati begitu skaral, kebenaranya kini terjawab oleh waktu ketika kerusakan tampak didaratan dan dilautan
BalasHapus