Berita tentang Risna yang gagal menikah dengan kekasihnya, Rais, menjadi
isu hangat yang diperbincangkan oleh media sosial belakangan ini. Bahkan
berita menjadi konsumsi nasional setelah Risna mendapat undangan dari
salah satu stasiun TV Swasta di Jakarta. Dari sini, nama Risna kemudian
semakin menjadi perbincangan heboh.
Ketika pertama kali membaca
berita tentang Risna yang datang dalam acara resepsi pernikahan mantan
kekasihnya Rais yang telah dijalaninya selama 7 tahun, tempat resepsi
itu seperti yang dituliskan di media sosial tidak asing lagi dalam memoriku,
bahkan terbilang sangat akrab. Karena bagaimana tidak, tempat itu juga
ada tempat kelahiranku.
Pada prinsipnya, apa yang dialami Risna bukan hal yang baru. Karena ia hanyalah satu pengalaman dari ribuan perempuan di Sulawasi Selatan. Penyebab kegagalan itu pada umumnya disebabkan oleh budaya. Ya, ini diistilahkan dengan doi' menre'/panai'(uang mahar). Mungkin orang akan bertanya, mengapa mahar dalam
Pertama-tama yang perlu diketahui adalah perempuan dalam Masyarakat Makassar-Bugis memiliki tempat yang istimewa. Budaya patriaki dalam masyarakat ini tidak dikenal. Sebagai faktanya, kerajaan Bugis beberapa kali dipimpin oleh Raja Perempuan. Selain itu, dalam perkawinan Makassar-Bugis juga tidak mengenal istilah "selir-selir" atau pun perkawinan berkali-kali (meskipun selalu ada anomali). Namun, Bagaimana itu menjadi mahal? Dalam hemat saya, perempuan yang begitu mulia, tidak serta merta dapat dinikahi begitu saja. Tapi memerlukan usaha dan kesungguhan yang terukur. Bagaimana ukurannya? Tergantung pada pihak perempuannya. Dalam konteks inilah, mahar atau uang panai' menjadi simbolisasi dari dari keteguhan dan kesunggahan itu. Sehingga setiap keluarga besar dari pihak perempuan dapat secara subjektif berhak menetapkan besaran (simbolitas) yang diinginkannya. Selain itu juga, perkawinan Makassar-Bugis tidak saja dipahami sebagai pernikahan individual tapi pernikahan dua keluarga besar. Dapat dikatakan momen ini juga menjadi ajang silaturrahmi keluarga besar. Sehingga, Ini pulalah yang menjadi alasan mengapa acara pernikahan dalam masyrakat ini terbilang lama dan memerlukan pengeluaran yang tidak sedikit.
Adapun mengenai yang dialami Risna, saya secara personal melihatnya hanya sebagai sesuatu yang terlalu didramatisir. Meski kebanyakan orang menilai bahwa Risna sebagai korban dan terluka, akan tetapi saya memiliki pandangan yang berbeda. Menurut saya, yang merasakan sakit yangg lebih besar adalah Istri Rais. Mengapa? Pertama, dihari (yang mestinya) bahagia, ia harus menyaksikan drama suaminya dengan perempuan lain. Kedua, ia harus menerima bahwa ia hanya merupakan pelarian dari suaminya. Ia menyadari bahwa suaminya sungguh tidak mencintainya, karena Risna masih dalam bayang-bayangnya. Seandainya bukan karena "mahar" maka, Rais, suaminya tidak menikahinya. Ketiga, kedatangan Risna semakin menegaskan bahwa secara simbolik ia lebih besar dan lebih tinggi daripada perempuan yang dinikahi Rais.
Maka dari itu, menurut saya simpati yang diberikan kepada Risna hanya akan semakin menjelaskan eksistensinya dirinya dan justru semakin membuat istri Rais semakin inferior.
Sumber: Muhammad Takbir Malliogi
Editor: Rhibaz Pencari Kesempurnaan
0 komentar:
Posting Komentar