Kamis, 29 Maret 2012

Metode Penelitian Fenomenologi

    Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi adalah Husserl, namun dalam buku ini lebih banyak mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar pada pemikiran sang pelopor, Husserl). Terdapat dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan metodologi penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini. Pertama, karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami. Kedua, Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial.
     Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat interpretasi terhadap realitas yag diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.
     Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada praktiknya, peneliti mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia orang yang diamati. Peneliti hanya terlibat secara kogniti dengan orang yang diamati. Peneliti dapat memilih satu ‘posisi’ yang dirasakan nyaman oleh subyek penelitiannya, sehingga ketika subyek merasa nyaman maka dirinya dapat menjadi diri sendiri. Ketika ia menjadi dirinya sendiri inilah yang menjadi bahan kajian peneliti sosial.

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainómenon, yang berarti “yang tampak,” dan lógos, berarti “studi.” Dalam konsepsi Husserl, fenomenologi terutama berurusan dengan pembentukan struktur-struktur kesadaran, dan fenomena yang tampak dalam tindakan-tindakan kesadaran, obyek-obyek refleksi sistematis dan analisis.[1]
Refleksi semacam itu akan terjadi dari sudut pkitang “orang pertama” yang sangat dimodifikasi, yang mempelajari fenomena tidak seperti apa tampaknya pada kesadaran “saya”, tetapi terhadap tiap kesadaran apapun. Husserl percaya, fenomenologi dengan demikian dapat menyediakan landasan yang kokoh bagi seluruh pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan ilmiah, dan dapat menetapkan filsafat sebagai sebuah “ilmu pengetahuan yang keras.”.
Littlejohn mendefinisikan fenomenologi sebagai studi tentang pengalaman yang datang dari kesadaran atau cara kita memahami sesuatu dengan secara sadar mengalami sesuatu tersebut.[2] Sedangkan menurut Hegel fenomenologi mengacu pada pengalaman sebagaimana yang muncul pada kesadaran, lebih lanjut ia menjelaskan fenomenologi adalah ilmu menggambarkan apa yang seseorang terima, rasakan dan ketahui di dalam kesadaran langsungnya dan pengalamannya. Dan apa yang muncul dari kesadaran itulah yang disebut sebagai fenomena.[3]


         Merangkum dari berbagai definisi yang ada, fenomenologi adalah studi tentang pengalaman yang disadari (conscious experience). Jadi peneliti yang menggunakan fenomenologi nantinya akan meneliti pengalaman yang disadari dari responden penelitiannya bukan meneliti sesuatu yang diluar responden penelitiannya atau sesuatu diluar pengalaman sadar responden penelitiannya. Misalkan, pernyataan yang dikeluarkan pada saat individu dalam keadaan tidak sadar atau terhipnotis seperti dalam acara televisi Uya-Kuya misalnya tidak bisa dijadikan data penelitian fenomenologi. Tetapi alasan individu kenapa mau dihipnotis, bagaimana perasaannya ketika mendengarkan kejujuran dari orang-orang dekatnya, apa yang mendasari individu tersebut untuk memaafkan orang terdekatnya misalnya karena pada saat dihipnotis dirinya dijelek-jelekan orang terdekatnya, adalah pengalaman-pengalaman yang menjadi studi penelitian fenomenologi. Hanya pengalaman sadar individu yang menjadi obyek studi dari penelitian fenomenologi.


Prinsip Dasar Fenomenologi
Stanley deetz  menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam fenomenologi:
1.      Pengetahuan adalah kesadaran.
Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan secara langsung dari pengalaman yang disadari “conscious experience”. Contoh, saya tahu kalau hubungan jarak jauh (LDR) adalah sebuah hubungan yang bisa mengalami banyak hambatan dan akan susah untuk dipertahankan apabila tidak ada komitmen dari kedua belah pihak, bukan saya simpulkan secara tidak sadar dari pengalaman-pengalaman tetapi saya temukan langsung dari pengalaman yang saya sadari.
2.      Makna dari sesuatu
Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu. Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh apa makna sesuatu tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, seseorang yang dimata orang lain biasa-biasa saja tidak memiliki kelebihan yang terlalu waah bisa sangat berarti dan sangat berharga di mata kita karena seseorang tersebut adalah kekasih tercinta kita.
3.      Bahasa adalah sarana makna.
Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial tersebut. Contoh, kita bisa dengan mudah mengetahui kalau itu cincin karena label-label yang berhubungan dengan cincin; logam/plastik, berbentuk lingkaran, jari, aksesoris, dll. Seperti salah satu tayangan kuis di stasiun telivisi swasta, katakan katamu.[1]


[1]S. W. Littlejohn, Op. cit, h. 200

[1] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosopher, Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010, h. 287
[2]S. W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 6th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. N/A., 1999, h. 199
[3]Clark Moustakas, Phenomenological Research Methods, California: SAGE Publications, 1994, h. 26

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote