Sabtu, 22 Maret 2014

Pewaris Tradisi (Sebuah Cerpen)

Oleh Hamdan

Malam baru saja berjalan ketika sejumlah anak muda telah berkumpul di lego-lego (teras) rumah Dollah. Kepulan asap rokok dari jauh seperti awan tipis tersesat dari rombongan, terbawa angin yang bergerak sangat pelan, dan berputar-putar di lego-lego itu dalam sorotan lampu spiral 25 watt. Tetapi cahaya lampu yang menembus kepulan asap, membuat lego-lego dari kejauhan justru nampak seperti panggung pementasan hard rock music festival. Kopi hitam dan pisang rebus menambah susana semakin larut dalam carita dari Dollah. Kebetulan Dollah baru sehari lalu pulang dari kota setelah hampir selama sebulan menemani Bento sahabat facebooknya, di Rumah Sakit Umum Makassar yang istrinya menjalani operasi tumor kandungan. Di kampung mereka, sarana kesehatan belum memadai termasuk fasilitas Rumah Sakit.

“Kenapa harus kamu yang menemaninya Dollah? Bukankah sebaiknya perempuan yang menemaninya?” Tanya Ikaseng seolah ingin lebih tau cerita Dollah.

“Saya tidak menemani istrinya. Bentolah yang terus mendampingi istrinya. Saya membantu urusan-urusan lain di rumah sakit. beli makanan, ambel obat ke apotik, ambel darah di bank darah, bawa darah ke laboratorium, dan banyak lagi. Bento dan istrinya orang jauh di seberang. Mereka tak punya keluarga dan belum pernah ke kota Makassar. Makanya sayalah satu-satunya yang mereka andalkan.”

“Apa itu bank darah dollah?” Asere nampak sangat bingung dengan istilah itu.

“Bank darah itu adalah suatu tempat darah dikumpul menurut jenisnya. Ada darah A, B, AB, dan O. Jadi, kalo ada pasien yang butuh darah, dokter tinggal memberi seperti resep untuk memesan dan mengambil darah. Kalo operasi berjalan normal mungkin dibutuhkan sekitar tiga kantong darah. Satu kantong mungkin

Selasa, 04 Maret 2014

Masa Depan Tuhan

Oleh Mohd. Sabri AR

Postscriptus yang menggetarkan. Akhir yang menggugat: masihkah Tuhan punya masa depan? Pesan itu seolah hadir untuk mengoyak ketertiban iman, “maybe God really is an idea of the past,” begitu pendakuan Karen Amstrong dalam bab terakhir bukunya The History of God. Buku yang lahir dari survei yang ketat dan genial: bagaimana manusia, sepanjang tak kurang dari 4000 tahun, merumuskan Tuhan. Tuhan masa lalu adalah Tuhan yang memiliki peran decisive dalam segaris sejarah manusia yang beku. Tiga pilar wiracarita soal Tuhan pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing punya argumen yang riuh. Tak ada mufakat. Saling debat. Satu-satunya yang secara nisbi bisa diterima tanpa jejak pertikaian: bahwa Tuhan ditemukan dalam aksara lalu diekspresikan dalam jagad tanda yang jamak.

Namun, haruskah ini berarti jika Tuhan akan tetap memainkan peran “masa lalu”Nya untuk masa kini dan masa depan? Apakah “paham” tentang Tuhan masa lalu akan tetap bertahan dalam sebilah keyakinan dan tersimpan rapi dalam pualam dogma yang beku? Amstrong, lagi-lagi bersikukuh dengan temuannya, setelah dengan benderang menghamparkan zeit geist masa kini yang suram: aneka kekerasan dan perang, kehancuran lingkungan, demoralisasi, penyakit AIDS yang tak tersembuhkan, penduduk yang kian eksplosif, kelaparan dan kekeringan, hingga agama—yang sejauh ini menjadah wadah paling sublim mempercakapkan

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote