Selasa, 04 Maret 2014

Masa Depan Tuhan

Oleh Mohd. Sabri AR

Postscriptus yang menggetarkan. Akhir yang menggugat: masihkah Tuhan punya masa depan? Pesan itu seolah hadir untuk mengoyak ketertiban iman, “maybe God really is an idea of the past,” begitu pendakuan Karen Amstrong dalam bab terakhir bukunya The History of God. Buku yang lahir dari survei yang ketat dan genial: bagaimana manusia, sepanjang tak kurang dari 4000 tahun, merumuskan Tuhan. Tuhan masa lalu adalah Tuhan yang memiliki peran decisive dalam segaris sejarah manusia yang beku. Tiga pilar wiracarita soal Tuhan pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing punya argumen yang riuh. Tak ada mufakat. Saling debat. Satu-satunya yang secara nisbi bisa diterima tanpa jejak pertikaian: bahwa Tuhan ditemukan dalam aksara lalu diekspresikan dalam jagad tanda yang jamak.

Namun, haruskah ini berarti jika Tuhan akan tetap memainkan peran “masa lalu”Nya untuk masa kini dan masa depan? Apakah “paham” tentang Tuhan masa lalu akan tetap bertahan dalam sebilah keyakinan dan tersimpan rapi dalam pualam dogma yang beku? Amstrong, lagi-lagi bersikukuh dengan temuannya, setelah dengan benderang menghamparkan zeit geist masa kini yang suram: aneka kekerasan dan perang, kehancuran lingkungan, demoralisasi, penyakit AIDS yang tak tersembuhkan, penduduk yang kian eksplosif, kelaparan dan kekeringan, hingga agama—yang sejauh ini menjadah wadah paling sublim mempercakapkan

Tuhan—justeru jadi institusi yang memupuk pertikaian panjang. Dalam huru hara zaman seperti ini, masihkah paham tentang Tuhan bermakna dan bisa dipertahankan? Keraguan, menjadi kabut dalam jawaban Amstrong.

Iman, Tuhan, dan sejarah bukanlah sebuah arus sepihak, tapi persilangan yang penuh kisah. Dan sejarah memberi tahu bahwa Tuhan adalah episentrum: selalu saja ada detak yang rindu untuk menemu Tuhan setiap waktu. “...ide manusia tentang Tuhan memiliki sejarah...gagasan itu selalu punya arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang mengkostruknya di pelbagai penggalan waktu...” (Amstrong: 2011;21). Dan kita tahu, tafsir menjadi lalu lintas paham yang tak sedikit menerbitkan tubrukan. Mungkin karena itu, maka kita sering menemukan ada selisih dan sengketa dalam praktik berTuhan. Ada amuk dan perang dalam nama Tuhan. Dan fanatisme agama menjadi titik dalih dalam tindak pemusnahan kemanusiaan.

Tuhan di masa depan, mesti keluar dari dinding simbol, citra dan simulakrum tanda. Ide tentang Tuhan masa depan mengandaikan sikap rendah hati, intersubyektif dan pos-dogmatik. Dan pada akhirnya, “yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah” (Goenawan: 2008;41). Sebab itu, selalu ada misterium yang mengitariNya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami” kaum mistikus?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote