Jumat, 28 Februari 2014

Meraba “Wajah” Tuhan

Oleh Mohd. Sabri AR

Dari abad ke-7 Hijriyah yang beku, teosof Ibn ‘Arabi bersenandung:“Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri perempuan.” Sebuah dentuman yang mengguncang, di tengah kuatnya arus otoritarianisme religius kaum laki-laki. Pernyataan Ibn ‘Arabi dalam Fushûsh al-Hikâm, itu lebih merupakan aksara yang menyimpul: tajalli, sebuah doktrin ‘irfani tentang citra, penampakan, dan “manifestasi” Tuhan.

Perempuan dan laki-laki ibarat “sepasang tangan” Tuhan yang solid. Sachiko Murata menggambarkan dua aspek ini sebagai “yin-yang” yang bergerak tak kenal henti dan saling mengisi. Lingkaran putih mengandung unsur hitam dan terkontaminasi olehnya. Sebaliknya, lingkaran hitam mengandung unsur putih, dan tak dapat menampik kehadirannya. Relasi keduanya bahkan melampaui “oposisi biner” yang memprioritaskan satu hal di atas yang lain.

Dalam alegorisma Ibn ‘Arabi, relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang penuh ketegangan, tapi juga harmoni: jika laki-laki adalah “Langit” yang memberi, maka perempuan adalah “Bumi” yang menerima.

Langit membutuhkan Bumi, karena tanpa Bumi apalah arti curah hujan dan pesona gemintang di malam sepi. Demikian pula Bumi yang reseptif: begitu mendamba aliran rahmat dan pancaran yang tercurah dari Langit. Tapi, ini tidak dengan sendirinya bermakna jika Langit lebih unggul dari Bumi. Sebab, menurut Ibn ‘Arabi, Langit hanyalah rongga raksasa yang tak berisi apa-apa kecuali kekosongan. Karena itu Langit amat haus akan Bumi. Sementara Bumi mengandaikan kepenuhan dan keberlimpahan. Bumi mengandung banyak hal yang invisible, meski ketakterlihatannya itu justru menjadi “kekuatan” tersendiri baginya.

Tapi, bagi Ibn ‘Arabi, perempuan bukan Rahasia yang sepenuhnya tertutup dan invisible, karena dia adalah Materi. Berbeda dengan laki-laki yang identik dengan Ruh. Perempuan ibarat “raga” yang merawat kehidupan sementara laki-laki identik dengan “nyawa” yang memberi kehidupan. Kendati demikian—lagi-lagi catatan Ibn ‘Arabi—meski perempuan adalah Materi, (ada kedekatan mother ‘ibu’ dan matter ‘materi’), ia adalah materi yang immateriil. Perempuan, dalam sifatnya yang terindrai, adalah juga Rahasia yang tak teraba. Sebab, dalam diri perempuan Tuhan menancapkan keajaiban agungnya, dalam wujud kasih, yang mentransmisikan langsung sifat Rahman-RahimNya.

Kini relasi laki-laki-perempuan, tengah terkoyak dalam kehidupan kontemporer kita. Perempuan menderita sekian banyak pelecehan dan diskriminasi. Wajah perempuan adalah tanda kerentanan. Kapitalisme telah “merobek” Wajah itu melalui komodifikasi, iklan, dan advertensi. Sementara budaya patriarki bergerak mendistorsi Wajah itu lewat agama dan budaya yang tak ramah pada perbedaan. Melalui doktrin sufistiknya, Ibn ‘Arabi sejatinya hendak mengatakan, “Dengan penghormatan dan cinta kepada yang lain, hidup akan terasa indah”. Dan, pada detak inilah, akan terasa “kehadiran” Tuhan pada diri perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote