Kamis, 27 Februari 2014

Kemusyrikan Esoterik

Oleh Mohd. Sabri AR

Di Jalan Cinta semua berhala adalah
isyarat dan tanda...
Karena iman dan kufr
pada Wujud selalu
abadi dan tetap, maka kemusyrikan
dan ketauhidan adalah satu
(Syabistarî)

Syabistarî melontarkan aforisma Cinta yang menggetarkan: ketaatan dan keingkaran adalah satu. Sebab itu, paganisme, kemusyrikan, dan berhala, adalah paras lain dari iman dan ketauhidan. Sebagai seorang teosof-penyair, Syabistarî tengah mengepakkan sayap ‘irfannya, dan kelak menjadi satu genre pemikiran filsafat mistik paling berpengaruh di Abad Pertengahan. Sepilihan antologi puisi mistiknya, Gulsyan-i Râz (“Taman Misteri”), telah meneguhkan Syabistarî sebagai pengagum dan otoritas paling bernas dalam mengurai “semesta tanda” gagas mistik al- Syaikh al-Akbar Muhyî al-Dîn Ibn ‘Arabî. Gulsyan-i Râz (GR) adalah sebuah eksposisi puitik yang rumit dan ganjil, tapi juga amat benderang dalam kilatan intuisi.

Dalam selarik bait GR, Syabistarî bersenandung: Dilihat dari jarak dan dimensi Tuhan/berhala adalah Kebenaran... Jika kau tak mampu merasakan Kebenaran yang tersembunyi di dalamnya/Lihatlah Tuhan di balik berhala. Doktrin filsafat mistik yang diembuskan Syabistarî, mengandaikan satu sikap: komitmen untuk memahami kebenaran lintas iman adalah aspek terpenting dari ajaran sufi. Metode mistiknya sepenuhnya visioner mencakup kasyf, zawq dan tahqîq atau “realisasi dan pembuktian langsung” terhadap Asal-esoterik, jantung keyakinan seluruh agama dan tradisi autentik. Doktrinnya bersifat transnomian: yang mengandaikan

“kemurnian” dan “ketidakmurnian”, “keimanan” dan “kekafiran” bukannya sebuah penghadapan tapi pertautan sublim dan dipandang sebagai tajalli yang aneka dari Wujud Tuhan.

Sufi transnomian adalah ajaran terpuncak dari seluruh aliran Sufi Transendentalis di Abad Pertengahan. Syabistarî, sebagai pentolannya yang paling memukau, menunjukkan adanya kesatuan tujuan penyembahan, “Ketunggalan doxa” di antara kaum politeis dan monoteis dalam menemukan “jejak-abadi” Tuhan. Dua abad kemudian, doktrin Syabistarî merengkuh pikiran sufi Dârâ Syikûh (1615-1659) yang mendaku, “para penganut mistik Hindu adalah monoteis sejati atau muwahhidân-i hind”. Ia juga menyimpulkan, tidak ada perbedaan doktrinal yang esensial antara penganut Hindu dan Sufi Muslim. Sifat eukumenikal doktrin Syabistarî ini, dengan begitu, mengantar kita menyelami pandangan sufi tradisional mengenai “politeisme” dan makna inti politeisme dalam konteks fundamental esoterisme Islam, yakni prinsip Unity of Being atau teomonisme (Wahdah al-Wujûd).

Nafas doktrin Syabistarî berpaut dengan tesis William Blake “Semua Agama itu Satu” yang membela Kristen Unitarian di Kristen Barat. Tampaknya, konsep sufi tentang “kesatuan mistik agama-gama” memungkinkan terbangunnya integrasi, harmoni, dan toleransi terhadap doktrin-doktrin Vedanta Hindu, Zen Bhuddisme, Kabbalisme Yahudi dan Mistisisme Kristen—ketimbang terhadap Islam eksoterik. 

Teori “kemusyrikan esoterik” Syabistarî, menemukan pijakannya yang kukuh dalam doktrin “Kesatuan tajallî agama-agama berdasar pada Kesatuan Transendental Tuhan”. Dalam menjelaskan ide ini, Syabistarî mengadopsi posisi visioner murni. Ia mengajak pengikutnya untuk menyobek tabir aneka warna dan merasakan secara langsung ontologis “Cahaya Putih Keabadian” lewat patung-patung dan arca, dalam setiap ‘sesembahan’ agama, untuk menyaksikan visio Dei. Dalam permenungan Syabistarî, agama, sebab itu adalah “Penglihatan” (Vision) langsung; iman bukanlah dogma melainkan “penyingkapan”.

Meski penyembahan berhala politeistik adalah suatu warna yang berbeda dengan warna monoteisme, tapi keduanya berasal dari Cahaya Tunggal. Setiap konstruksi iman, ibarat sebersit cahaya yang memantul melalui prisma dan mentransformasikan Cahaya Tuhan ke dalam aneka warna ide—di mana ide-ide tersebut sekaligus menguburkan dan menyelubungi Cahaya Tuhan. Pemahaman terhadap aneka warna tajallî Tuhan ini adalah bagian dari misi religiusitas seorang sufi. Karena ‘warna-jiwa’ berbeda dalam setiap individu, maka mistikus mesti mengakui konsekuensi apa yang disebut Zaehner sebagai concordant discord: “perbedaan-perbedaan harmoni” dari pelbagai sistem keimanan.

Syabistarî, sebagaimana Ibn ‘Arabi, mengingatkan jika “kemusyrikan esoterik” dalam bentuk penyembahan esoterik berhala atau ‘kemungkaran yang benar’ adalah sebuah konstruksi iman yang hanya dapat “dialami” kaum gnostik, dan tidak untuk yang lain. “Seorang gnostik sejati mengakui Tuhan dalam setiap bentuk manifestasi-Nya, sementara aliran non-gnostik mengakui Tuhan hanya dalam satu bentuk yang diyakininya dan menolak Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk yang lain” (Futuhat III132.24). Syabistarî, tanpa bimbang, banyak memetik inspirasi dari Ibn ‘Arabi tersebut, khususnya ketika menyatakan, bahwa semua cinta pada akhirnya Cinta Tuhan: bahwa setiap keinginan berada di bawah Satu Kekasih yang Transendental (One Transcendental Beloved).

Syabistarî, dalam degup sunyi yang debar mendaku, “Tuhan tampak dalam seluruh bentuk dan citra. Di antara penampakan dan bentuk tersebut, ada yang memakai selubung berupa berhala...sebagaimana diungkapkan dalam kalam-Nya: “Ke mana pun engkau menghadap, di sana ada Wajah Tuhanmu” (QS. 2:15). Sebab itu penyair Sufi, Magribî menyatakan keriangannya dalam gazal: “Dalam kuil Somnath/penyembah-penyembah berhala tidak lain memuja/Keindahan-Mu yang abadi//Dari Lâta dan Manât/Kecantikan-Mu memancar pula/Pada orang-orang kafir itu/Yang dengan cinta tersungkur bersujud.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote