Senin, 10 November 2014

Cerpen "Sabda Sang Ammatoa"



Semua masih dalam kegelapan, tiada cahaya, tiada udara, tiada yang ada. Semua masih dalam ketiadaan. Terang pun tak terpahami karena kegelapan pun tiada. Semua dalam kenisbian. Tiada yang perlu dipahami, karena yang memahami pun tiada. Tidak ada yang mesti dihitung dengan bilangan-bilangan numerik, karena penghitung dan yang terhitung pun tak ada. Hari pun tak diketahui, karena matahari pun tak ada. Bulan, bumi bahkan semesta pun masih dalam persembunyiannya.
            Dari ketiadaan itu datanglah sang ‘ada’. Setitik cayaha yang menjadi penanda. Suatu  penanda bagi kehidupan. Titik itu perlahan semakin menunjukkan sinarnya. Mengembang menjadi besar dari suatu titik yang belum terpahami. Cayaha itu menunjuk suatu ruang yang kosong yang tak satu pun ‘ada’. Perlahan demi perlahan, ruang semakin jelas. Di sana ada lautan yang maha luas. Lautan yang hanya
menampakkan dirinya sendiri. Tak ada apapun selain  dirinya dan cayaha itu sebagai penunjuknya.
            Sang Laut itu surut sedikit demi sedikit dihisap oleh sang cahaya. Darinya muncul sesuatu, layaknya “tempurung kelapa”. Suatu permukaan yang bukan tak berair. Tidak lagi cair permukaannya, tapi padat. Ternyata, sang laut menyadari kesendirian dan kesunyiannya. Sang laut tak ingin sendiri. Ia menghadirkan sesuatu yang lain pada dirinya untuk menjadi kawannya. “Dataran”. Ya, daratan. Sang laut ingin menegaskan eksistensinya dengan mendapat pengakuan dari sang darat. Di sana ada recognize for desire. Karena kebermaknaan dirinya tidak akan pernah terketahui tanpa adanya pengakuan sang darat. Begitu pula sebaliknya. Sang Darat menjelaskan eksistensinya pada sang laut.
Sang darat pun semakin melebarkan sayapnya, menyeberangi batas teritori kedaratannya. Namun ia juga sadar akan dirinya bahwa ia akan selalu dibatasi dan terbatasi oleh sang laut. Ia menyadari dirinya sebagai akibat dari sebabnya. Dan dari diri inilah tumbuh pepohonan rindang dan hutan belantara yang luas. Sang darat begitu dermawan, memberikan peluang kehidupan kepada yang lain. Dirinya seperti rahim yang menghendaki apa pun keluar dari zulbinya. Inilah bumi yang pertama dan bumi yang tertua. Bumi yang bernama Tanah Toa.
Di tempat ini, tiba-tiba terdampar sePasang manusia, laki-laki dan perempuan, dari lautan yang maha luas itu. Entah dari mana asalnya dan bagaimana kehadirannya. Tidak dapat diketahui, karena batas nalar tak mampu mengungkapnya. Manusia yang menjadi penghuni pertama daratan. Anak-anaknya kelak menyebutnya dengan Ammatoa (bapak pertama/ bapak yang tertua) dan perempuan yang bersamanya adalah Anrong (ibu). Belum sempat waktu terhitung, langit seketika bergemuruh dan petir menyambar. Dari kilatan itu, datanglah sosok (bukan makhluk) yang menyambangi Ammatoa. Ammatoa tak menampakkan kepanikan atas kedatangan yang bukan mahkluk itu, seolah mereka sudah saling mengetahui satu sama lain. Tak ada yang bertanya tentang asal-muasal atau pun sebab-sebab kedatangan. Semuanya terpahami dalam sesuatu bahasa yang lain, bahasa tanpa lisan dan tanpa tulisan. Yaitu, bahasa yang tidak tercakapkan.
Sosok yang bukan mahkluk ini tidak pernah dimanai oleh Ammatoa.Karena memang Ia tak bernama. Jika pun ia bernama, terlalu sakral untuk disebutkan. Ammatoa hanya menyebutnya dengan Tu Riek Akrakna (yang maha berkehendak). Ketika terjadi perjumpaan itu, antara Ammatoa dan Tu Riek Akrakna, Tu Riek Akrakna menitipkan Pasang (pesan) kepada Ammatoa, “Jagai lino lollong bonene, kammaya tompa langika, rupa tauwa siagang boronga. Inni sitojek-tojekna linoa pammantangannu anrongnu. (Peliharalah dunia ini beserta isinya, demikian juga langit dan hutan. Pada dasarnya, dunia tempat permikimanmu ini adalah ibumu).” Ammatoa hanya dapat menerima Pasang dan menjalankannya. Ia tidak punya untuk menolak. Pasang-Pasang pun datang secara kontiniu (berlanjut) kepada Ammatoa semasa hidup membumi. Bahkan Pasang-Pasang itu berlanjut hingga ke generasi-generasi Ammatoa setelahnya.
Setiap prosesi pergantian dan pelantikan Ammatoa, Tu Reik Akrakna hadir memberikan Pasang-Pasang-nya. Pasang menurut Ammatoa tidak dapat ditambah maupun dikurangi. Pasang harus sama yang dulu, sekarang dan yang akan datang. Pasang tidak pernah salah, hanya manusia yang salah dalam melaksanakannya. 
Setelah Pasang yang pertama itu di sampaikan Tu Riek Akrakna kepada Ammatoa, ia pun menuju borongkaramaka (hutan keramat) dan aklinrung (menggaibkan diri) di sana. Sehingga dalam kepercayaan Ammatoa, hutang itu begitu sakral. Selain karena tempat aklinrung-nya Tu Riek Akrakna juga adalah perintah Pasang.
Ammatoa bersama Anrongta sebagai penghuni bumi pertama bercengkrama bersama menepis sunyi. Dari hubungan keduanya, mereka dikarunia tujuh orang anak. Dari masing-masing anaknya kecuali anaknya yang keenam, diberikan tugas yang berbeda oleh Ammatoa untuk menjaga segenap bumi ini: Anak Pertama, menjadi Galla Pantama, yang statusnya berfungsi sebagai kepala pemerintahan dalam struktur pemerintahan adat yang dipimpin langsung Ammatoa; Anak Kedua, Galla Lombok, bertugas mengurus masalah pemerintahan pada daerah perluasan yang dikuasai Ammatoa; Anak Ketiga, Galla Anjuru, bertugas mengurus persoalan laut; Anak Keempat, Galla Kajang, bertugas mendampingi Galla Pantama dalam setiap acara ritual adat; Anak Kelima, Galla Puto, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa; sedangkan Anak Ketujuh, menjadi pengganti Ammatoa. Selain masing-masing tugas ini, Ammatoa selalu memesankan anaknya untuk tetap teguh menjaga serta menjalankan perintah Pasang.
Setelah semua itu, tugas-tugas itu dimandatir Ammatoa kepada anaknya, Ammatoa pun aklinrunrung (menggaibkan diri) di hutan keramat.
***
Binatang malam menyanyi riuh di luar rumah. Bersorak-sorai dan bercanda dengan malam. Aku hanya duduk termenung dengan kepala yang bersandar pada salah satu tiang penyangga rumah menikmati imaji liar di dunia lain. Di hadapanku hanya lilin kecil hasil karya penghuni rumah yang aku pun tak tahu darimana bahannya. Kami duduk berdua bercengkarama di tikar daun talas di sebuah rumah panggung yang berukuran kira-kira enam kali enam meter ini. Tanpa kursi, tanpa meja, ataupun perabot lainnya. Tiba-tiba suara yang ku kenal menyambar telingaku membangunkanku dari lamunan. Mengembalikanku pada alam sadarku. Aku baru saja larut dalam ceritanya. Membangun imaji yang seolah kehadiranku berada di ruang dan waktu yang ia ceritakan.
Nulanggereja ana’ (Nak, apakah kau mendengarku)?”. Tanya laki-laki paruh baya di hadapanku yang baru saja menceritakan mula tau (awal manusia), awal semesta dan awal sistem adat daerah ini yang telah menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Laki-laki yang ada di hadapanku adalah suami dari saudara nenekku.
Iye’ bohe’, kulanggerejaki” (iya kek, saya manyimaknya). Jawabku. Kata iye’ digunakan masyarakat setempat, di mana ibuku menumpang melahiranku, sebagai diksi yang lebih sopan kepada lawan bisa dibandingkan kata iya. Kata iya hanya digunakan ketika berbicara dengan yang sebaya dengan kita.
“Jari ana’, pakuainjo anak caritanna Pasanga na kammayyanni pa’rasanganta. Ikatte akrakna ampiarai Pasanga. Kaikattekatte ngaseng rupa taua, passulukanta battu ri ammatoa sitijek-tojekna.”(Jadi nak, begitulah cerita dalam Pasang, sehingga keadaan sekitar kita begini. Kita di sini (yang berada dalam lingkungun adat) hanya menjaga Pasang. Karena kita semua adalah anak cucu Ammatoa).
“Anggurai na talariek ri pa’rasanganta inni bohe’, sikuntu apa-apa buttu panrakka? Appada barang-barang ni bungkusua?”(Mengapa di tempat ini kek, semua yang berasal dari luar itu ditolak? Misalnya barang-barang kemasan).
Ka injo, nakua Pasanga; parek tau kebo’. Pare’ tau keboka pammanrakinnaji lohe, sikiddikkale pammajikinna.(Karena dikatakan di dalam Pasang; bahwa itu adalah produksi para penjajah. Dan para penjajah itu memproduksi sesuatu yang lebih sedikit kebaikannya daripada kebaikannya).
Aku terdiam sejenak mendengar jawaban ini. Terkesima sekaligus tertampar. Akhirnya aku ciptakan cermin dalam diriku sendiri, seperti orang yang bercermin dan bertanya pada bayangnya. Bagaimana orang yang hidup di sini  jauh lebih kritis daripada sebagian orang yang mengaku berpendidikan seperti saya ini? Bahkan mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Bagaimana mereka lebih tahu bahkan lebih kritis, sementara  hanya bereferensi Pasang? Mereka tidak tau membaca, apalagi menulis. Tapi ia lebih tahu bahwa makanan seperti Indomie misalnya, memiliki mudarat yang lebih banyak daripada manfaatnya. Pertanyaan ini mengusik pikirangku, bahkan menghantuiku. Cermin diriku belum bisa menjawabnya. Apakah betul, yang mereka maksud Pasang yang disabdakan Ammatoa adalah firman-firman Tuhan? Ataukah itu hanya refleksi batin? Jika itu refleksi batin, darimana mereka mendapatkan pengetahuan sebelumnya sebagai suatu fakta yang harus direfleksi? Aku mencoba mengabaikan semua itu. Biarlah itu menjadi bahan refleksiku sendiri. Yang jelas, jawaban yang baru saja aku dengarkan itu membungkam dan merobohkan egoisme intelektualku. Dalam pikirku sekarang, bagaimana malam ini aku mendapat lebih banyak pengetahuan tentang kearifan masyarakatku.
 Semua masyarakatnya yang tinggal di wilayah ini sangat menjaga kelestarian lingkungan. Mereka menjaganya karena diperintahkan dalam Pasang. Luas wilayah ini sekitar tujuh kilometer persegi. Terdiri dari 90 ha persawahan, 74 ha perkebunan dan 317 ha hutang. Hutan itu sendiri yang disebut dengan hutan keramat. Hutan ini dipercayai sebagai tempat berlindung para roh-roh leluhur mereka, sehingga menjadi area terlarang untuk dimasuki. Merusak hutan sama halnya dengan merusak bumi, dan merusak bumi adalah merusak angrongta (ibu kita). Bumi ini adalah ibu bagi masyarakat. Jadi, bagaimana mereka ingin merusak buminya, jika yang dirusak itu adalah ibu. Bagaimana mereka bertindak yang tidak semestinnya kepada ibunya, jika ibu sebagai sumber kehidupannya. Dan bagaimana mereka bisa mengingkari titah Tu Riek Akrakna, jika kelak Ia akan datang menuntut pertanggungjawaban. 
Aku melihat ciri yang paling nampak dari masyarakat di sini adalah semuanya berpakaian hitam. Ketika aku bertanya kepada kakekku, “mengapa mereka memakai pakaian yang serba hitam, dengan baju berwarna hitam, sarung hitam, dan sehelai kain hitam dililitkan di kepala layaknya seorang pendekar tanpa memakai sandal (alas kaki)? Ia hanya menjawabnya bahwa, “ini adalah Pasang nak; “anrek lekleng toa, anrek lekleng lolo, lekleng situju-tuju, lekleng kabusuji (tidak ada hitam yang ketua-tuaan, tidak ada hitam yang kemuda-mudaan, semua hitam adalah netral, sekali hitam tetap hitam). Bukankan yang demikian adalah simbol kesetaraan? Bukankah pakaiannya ini mengandung makna yang dalam dan filosofis? Bahkan termasuk tamu sekalipun yang hendak memasuki kawasan ini, semuanya harus berpakaian hitam dan tidak memakai sandal. Akan tetapi mereka diberikan konvensasi, pakaiannya tidak seperti masyarakat setempat yaitu, pakaian yang diproduksinya sendiri. Tamu bisa memakai pakaian yang dibeli di tokoh.
Di tempat ini, aku tak menemukan kendaraan kecuali kuda tunggangan yang digunakan sebagai kendaraan menuju sawah dan ladang mereka. Kata kakekku ini, semua jenis  kendaraan diharamkan memasuki kawasan ini. Jika ada yang melanggar aturan ini, maka sebagai sangsinya, ia tidak boleh menginjakkan kakinya di kawasan ini seumur hidupnya. Motor adalah pruduksi tau kebo’ yang dapat menjauhkan mereka dari nilai-nilai Pasang. Walau mereka  tidak tahu, bahwa hasil pembakaran motor dapat menyebabkan polusi udara. Mereka hanya tau Pasang melarang itu. Pasang lebih utama dari apapun. Kebenaran Pasang adalah kebenaran absolut. Hanya manusia saja yang dapat melenceng.
Aku menikmati kesejukan wilayah ini. Suatu kesejukan lahir dan batin. Terpaan angin yang menghempas tubuhku begitu segar, selaksa angin surgawi. Udara yang kuhirup, seperti udara yang telah lama dirindu oleh paru-paruku. Kedamaian dan kerukunan aku simak, karena ia seperti dalam imaji yang telah aku impikan bertahun-tahun. Bahkan “Pancasila” yang selalu aku diskusikan, termanifestasi di tempat ini. Aku mencoba untuk bandingkan dengan tempatku yang hampir aku tak lagi menemukan tempat-tempat sejuk. Angin-angin telah bersetubuh dengan debu. Udara telah bercampur dengan polusi. Dan setiap harinya aku selalu mendengar berita pembunuhan.
Sebelum mereka menikah, setiap orang di tempat ini wajib menanam dua pohon. Tidak akan dibolehkan seseorang untuk menikah sebelum ia menanam dua pohon. Jika aku bertanya, kenapa begitu? Kakekku hanya menjawabnya, “itu Pasang.” Selain itu, jika ada yang menebang satu batang pohon, maka ia berkewajiban untuk menanam dua batang pohon. Pasang mengatakan; “akak kajunna appakalompo tumbusia, raung kajunna anggonta bosi (akar kayu memunculkan mata air, daun kayu memanggil hujan)”. Bukankah dalam sains juga begitu. Bukankah dalam penelitian sudah dibuktikan, pohon-pohon yang sudah ditebang menunjukkan curah hujan yang kurang, karena pohon-pohon mampu mengurangi kecepatan angin, sehingga mengurangi penguapan air dari tumbuhan yang terlindung olehnya? Kok, mereka tau, padahal mereka tidak pernah meneliti itu? Bagaimana mereka mengetahui semua itu? Ditempat ini sungguh menundukkan pseudo intelektualku.
“Anak, tabe’, latinroa pale rolo’ inakke, manna mukopi isseng nani pattarrusuki. Kainakke toama bela (Nak, maaf, saya istirahat dulu, biar besok kita lanjutkan lagi, karena sudah tua)”. Ujar kakek paruh baya yang duduk di hadapanku, memberiku segudang ilmu yang tak ternilai. Ia bergegas menuju ruang belakang, sambil menunjukkan tempat tidurku.
Iye’ bohe’(Iya, kek).” Jawabku.
Aku tidak dapat tidur malam itu. Telah kucoba menutup rapat mataku, tapi juga tak bisa terlelap. Aku masih  disandera dengan segudang pertanyaan dari balik cermin diriku. Dalam tanyaku, bagaimana mereka di tempat yang terisolasi ini lebih sadar lingkungan dibanding dengan negara-negara Eropa yang mengklaim diri sebagai pusat peradaban hari. Mereka bahkan membangun kesadaran lingkungannya sebelum negara-negara Eropa teriak mengkampanyekan “Go Green”. Mereka sungguh menanam kearifan dan kebajikan yang “terbumikan”. Konsistensi hidup ala Pasang telah menjadi diri mereka dan way of life mereka.
Keteguhan menanam pohon di tempat ini telah menjadi habitus bagi mereka. Hidupnya adalah menanam. Menanan dan menanam. Mereka menanam bukan karena melawan, sebagaimana slogan; “menanam adalah melawan”, tapi mereka menanam karena Pasang. Mungkin lebih tepat dikatakan, “menanam adalah Pasang. Sedangkan  Pasang adalah sabda sang Ammatoa¸dan firman dari Tu Riek Akrakna.


Penulis :  Muhammad TakbirMalliongi
Editor :  Rhibaz Pencari Keesempurnaan


*Penulis lahir di Kajang, Sulawesi Selatan 25 tahun yang lalu. Ia adalah mahasiswa Ilmu Filsafat UGM. Sejak SMA, penulis telah menjadi penggiat sastra. Namun bakatnya dalam dunia sastra diabaikan begitu saja. Kini penulis tinggal di Jl. Sunaryo, No. 4, Kota Baru, Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Sangat mengerikan bung, helai rambut halus tak kuasa hingga kuduk ketika pesan demi pesan dihayati begitu skaral, kebenaranya kini terjawab oleh waktu ketika kerusakan tampak didaratan dan dilautan

    BalasHapus

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote