Sepertinya
hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian
anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and
Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter|#29|November 2002 27,
budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki
(oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya
laki-laki (calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan
(calabai) dan para-gender bissu. Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah
artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan
kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang
mempertautkan keunika para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang
disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita
Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.
Kehadiran dan Peranannya
Gambaran
pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan
pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran
Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu
dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu
sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La
Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya
We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu
turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran
leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu,
Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya
kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik
untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke
bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi
mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan
untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para
manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.
Bissu adalah
pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender
manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody female and male
elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit).
Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa.
Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang
memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang
biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana
bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu
berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun
juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam
pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih.
Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid.
Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta
Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68,
sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis.
Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di
Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang
dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.
dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.
Dalam struktur
budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari
dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa
melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit (
basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur
lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan,
maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang
dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti,
tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang
namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan
mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan,
kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan,
tolak bala, dan lain-lain.
Sakti?
Dari surek La
Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa
justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi
keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik
Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral,
bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi
Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah
kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang
satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga
tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki
sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).
Kisah kesaktian
Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun
1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah
distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata
walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak
satupun senjata prajurit Bone dan soppeng yang mampu melukai para bissu sakti
tersebut (LY Andaya, 2006, al 106).
Dalam ritual
yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu
pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan
untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri
bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan
badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada
yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang
Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur
sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).
Konflik dengan Islam?
Namun di saat
yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap
sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami
karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender
laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah
satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila
menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40
malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial
sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan
dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.
Dalam beberapa
diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang
kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya
yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima
sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan
seperti perempuan ( tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama
karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki
kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu
itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara
ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan
menerima dan menjalankan sunnatullah.
Di tahun
1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah
satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu
ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan
membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para
pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan
ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang
harus bekerja keras.
Penderitaan
para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh
rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang
menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang
hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para
Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut
komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak
beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang
siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di
antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih
masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam
masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang
melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.
Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak
diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu
maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang
sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan
olok-olokan bocah di jalanan.
Gerakan pemurnian
ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang
gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili
mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara
besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya.
Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka
memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang
bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.
Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang
memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena
tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara
mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara
mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih
ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat
Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk
melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah
empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.
Sumber: Forum.Vivanews.Com
0 komentar:
Posting Komentar