MEMBANGUN KERANGKA KEILMUAN IAIN
Perspektif Filosofis
Oleh
Mulyadhi Kartanegara
Dunia selalu bergerak dan berubah. “Kita”, kata Heraklitus, “tidak
pernah menginjak air sungai yang sama dua kali.”1 Dengan
nada yang sama Henri Bergson (w. 1941) memberikan realitas sebagai
“kesinambungan menjadi” dan masa kini dalam kesinambungan tersebut sebagai
bagian quasi-inetantaneus yang dipengaruhi oleh persepsi kita
dalam masa yang mengalir.2 Namun, gerak kehidupan
cenderung bergerak ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Rumi berkata:
“Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka ia pun meronta ke atas laksana
tunas.”3 Mullah Shadra juga mengatakan bahwa seluruh
dunia fisik, bahkan psikis dan imajinal yang bergerak ke atas hingga
arketip-arketip yang tidak bergerak dan bercahaya, selalu dalam gerak dan
menjadi.”4 Semua inilah yang kita namakan dinamika
kehidupan.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak
bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka
bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik
keagamaan, negara maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh
dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga itu sedikit
banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan
diri dengan irama perubahan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan, IAIN juga tidak luput dari “hukum”
tersebut; kalaupun mampu mengikuti irama perubahan itu, maka insya Allah ia
akan “survive”, tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya,
maka cepat atau lambat lembaga akan tertinggal dan ditinggalkan.
Oleh karena itu, agar lembaga ini tetap “survive” maka kita harus
berani mengadakan perubahan-perubahan esensial secara periodik. Tetapi kalau
kita ingin “maju” (berkembang) dan bukan hanya “survive”, maka kita
harus mengadakan perubahan-perubahan yang lebih fundamental untuk mengadakan
“antisipasi” ke masa depan sesuai dengan arah kecenderungan yang berkembang.
IAIN sangat beruntung memiliki tokoh kharismatik seperti Prof. Dr.
Harun Nasution yang pada tahun 70-an dan 80-an telah mengadakan “reformasi”
fundamental terhadap IAIN, dan keteguhan/ketetapan
hati dan kepercayaannya
terhadap kebenaran dari ide-ide dan tindakannya membuat ia “tahan banting”
terhadap segala macam kecaman dan kritik yang destruktif, dan pada akhirnya
semua orang mengerti dan mengakui pen-capaiannya yang agung.5
Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa mengelak dari hukum
dinamika kehidupan –yang belakangan ini cenderung semakin cepat–, maka bahkan
ide-ide dan gebrakan-gebrakan dinamis almarhum Harun Nasution sudah agak
“tertinggal” oleh jaman, dan itu dirasakan hampir di semua bidang keilmuan
Islam, terutama seperti yang kita lihat dalam bidang filsafat. Oleh karena itu,
untuk tetap bisa“survive”, bahkan kalau bisa “maju dan berkembang”,
maka dalam memasuki millenium ketiga ini, mau tidak mau IAIN harus mengadakan
perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan
melanda pemikiran dunia global maupun regional, dan terutama pemikiran
keagamaan dan filosofis di negara kita sendiri. Untuk itu, barangkali kita juga
harus merumuskan ulang visi dan misi dari lembaga pendidikan tinggi Islam.
Metafisika
dan Epistemologi Islam
Salah satu definisi metafisika adalah “upaya untuk mengeksplorasi
dunia non-indrawi, yang berada di seberang dunia pengalaman”.6 Jadi,
metafisika merupakan cabang filsafat yang mencoba menjelajahi dunia rohani atau
alam gaib, yang menurut Islam harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim,7 seperti
Tuhan, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, neraka dan
sebagainya. Agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mempercayai yang gaib
tersebut dengan sepenuhnya; tentu saja kepercayaan ini tidak bisa diajarkan
secara dogmatis belaka, seperti yang sudah-sudah. Namun, harus disampaikan
melalui argumen-argumen rasional, yang rupanya telah menjadi tuntutan jaman,
melalui analisis yang logis dan sistimatis. Oleh karena itu, IAIN sebagai lembaga
akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga
religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang)
metafisika yang handal.
Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak
disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia
menginjak masa modern,8 dunia metafisik/gaib mendapat
serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat
sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi
Pierre de Laplace (w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial
Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya
dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang
menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman
dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai
pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti
itu).9 Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih
dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.
Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang
ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia
mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta)
kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena
semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah.10 Jadi,
jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkanal itu, Tuhan telah
berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali
tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta
dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem
astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam
semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang
bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.
Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund
Freud (w. 1939), bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud
memandang bukan saja Tuhan, bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi.
Dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menganggap agama lebih
sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan manusia), ketimbang
mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut Freud,
ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan pengalaman atau hasil
akhir dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan
manusia yang paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan
ide-ide itu menjadi “ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari
keinginan-keinginan manusia, sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam
keinginan-keinginan tadi.11 Feud melihat ide-ide
keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan
manusia. Demikian juga Emile Durkheim, seorang sosiolog modern
Prancis, melihat bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius)
terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form
of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal
dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut
Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari
pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal
dari Tuhan.12
Demikianlah beberapa contoh ide ilmuwan Barat yang menyerang
berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis. Kita harus memberi
jawaban yang rasional pula, jika kepercayaan kita terhadap alam gaib/metafisika
tidak mau dianggap sebagai ilusi/angan-angan belaka, lantas dicampakkan oleh
orang-orang modern yang telah cukup dalam dipengaruhi oleh ilmuwan-ilmuwan
tersebut di atas, yang bagi para pengikutnya yang luas dipandang sebagai
nabi-nabi ilmu pengetahuan. Namun, hingga hari ini IAIN belum mempersiapkan
visi metafisik tentang hal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sebab kedua yang menyebabkan IAIN perlu memiliki
visi metafisik yang jelas, adalah adanya kebutuhan yang semakin mendesak bagi
orang-orang modern, baik Barat maupun Timur, terhadap bangun metafisika yang
kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi
spiritualitas. Setelah masa Perang Dunia kedua, terdapat kecenderungan yang
semakin jelas dari kaum intelektual Barat terhadap metafisika. Dalam
dunia/bidang metafisika dan astronomi sendiri telah ada kecenderungan yang
semakin kuat terhadap hal-hal yang bersifat metafisik. Fisikawan kontemporer
Barat, pengarang buku God’s Wispher and Creation’s Thunder,
menyebutkan pandangan-pandangan Jalal al-Din Rumi (w. 1274), seorang penyair
sufi Persia, untuk melengkapi dimensi batin/esoterik dari realitas sejati yang
mana fisika modern, menurut pandangan buku tersebut, hanya mampu
mengungkapkannya dari dimensi lahir/eksetorik belaka dan karena itu hanya
bersifat parsial.13 Demikian juga Robert Jastrow
pengarang buku God and Astronomers, melihat
perkembangan-perkembangan yang menarik pada bidang astronomi, karena
implikasi-implikasi religiusnya. Menurut dia, berbagai ilmu tidak bisa bertahan
untuk tetap pada tataran fisik, dan banyak diantaranya yang mencoba melakukan
pendakian ke dunia metafisik, yang disebut sebagai gunung ketidaktahuan (montain
of ignorance). Di akhir karyanya, ia menyatakan: “ilmuwan telah (mencoba)
mendaki gunung ketidaktahuan (metafisika), dan ia hampir mencapai pucaknya yang
tertinggi. Namun, kala ia mengangkat dirinya ke atas, ia disambut oleh
sekelompok teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad.”14 Inilah
kisah menarik yang diceritakan oleh Jastrow, yang menggambarkan para ilmuwan
dengan para agamawan. Jadi, jelaslah betapa fisikawan kontemporer membutuhkan
bimbingan metafisika dari para
teolog/agamawan.
Perkembangan metafisika, atau lebih tepatnya, kebangkitan kembali
metafisika di Barat, semakin kentara dengan adanya upaya untuk bisa menghidupkan
kembali Philosophia Perennis, yang dipimpin oleh Rene Goenon,
seorang ahli metafisika abad dua puluh dari Perancis, yang kemudian masuk Islam
dan kemudian menghabiskan bagian akhir hidupnya di Mesir.15 Peranan
yang dimainkan oleh Goenon dalam kebangkitan metafisika dan filsafat perenial,
tercermin dari munculnya beberapa ilmuwan dan metafisikawan terkenal yang
mengaku sebagai murid Goenon. Misalnya, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt,
Martin Lings, Marco Pallis dan Seyyed Hossein Nasr.16 Sebagian
besar adalah kaum intelektual dan ilmuwan yang telah tersadarkan dari nestapa
kehidupan modern, lalu mencari dan mendapatkan hikmah dari Timur, yakni
tradisi-tradisi religius yang agung, seperti Taoisme, Budhisme, dan Islam,
khususnya Sufisme.
Dari apa yang kita sajikan di atas, bisa kita tarik kesim-pulan
bahwa dunia modern berada di persimpangan jalan antara pengetahuan sekuler masa
lalu. Kondisi yang demikian ini masih dominan di kalangan ilmuwan. Ini sangat
berbahaya terhadap sistem metafisika religius dan arus kontemporer ke arah
kebangkitan kembali tradisi keagamaan Timur yang masih berlangsung dan semakin
berpengaruh di kalangan tertentu, yakni dunia intelektual Barat. Kedua fenomena
ini, tentunya, perlu kita sikapi dengan membangun metafisika yang kokoh dan
besar dengan dua tujuan sekaligus: (1) menjawab tantangan metafisika yang
dilancarkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sekuler yang secara ilmiah mencoba
mendongkel pondasi metafisika religius; (2) memberi jawaban yang memadai bagi
tuntutan yang terus berkembang, terutama dalam memasuki milenium ketiga ini,
terhadap visi metafisika yang seimbang, logis dan rasional yang bisa memuaskan
kaum intelektual yang sedang mencari spiritualitas di dunia Timur. Saya
berharap bahwa cukuplah kiranya dua fenomena yang menarik ini menjadi alasan
perlunya IAIN untuk memiliki visi metafisika yang seimbang, tetapi cukup dapat
diandalkan dari sudut logika dan filosofis, serta tidak bertentangan dengan
semangat agama.
Kini, sampilah kita pada persoalan pokok, yaitu visi metafisika
yang bagaimana yang kita butuhkan. Tentunya, sebagai lembaga yang melibatkan
banyak pihak, IAIN tidak bisa menganut satu sistem metafisika tertentu saja,
misalnya metafisika Ibn Sina (w. 1037). IAIN harus memiliki visi metafisika
yang mengayomi berbagai aliran metafisika yang pernah dikembangkan oleh umat
Islam, sejauh tidak melanggar atau menolak ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan
demikian, metafisika yang dikembangkan di IAIN bisa mengambil bentuk
Avicennian, Suhrawardian, Shadrian, Farabian, maupun Ibn Arabian. Tentunya,
bila benar-benar dikembangkan, maka wacana metafisika di IAIN akan semakin
kaya. Ini terwujud, bila sistem-sistem tersebut tidak melanggar prinsip dasar
agama Islam.
Selain metafisika, IAIN juga harus merumuskan visi epistemologinya
yang jelas. Selama ini, epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam
merupakan bidang yang sangat diabaikan. Sebagai ilustrasi, UI Press menerbitkan
sebuah buku kecil dengan judul Epistemologi Islam. Selain kecil,
buku ini juga tidak cukup subtansial memuat ajaran-ajaran epistemologi Islam.17 Padahal,
khazanah filsafat Islam sangat kaya dan potensial untuk disusun menjadi
epistemologi Islam yang komprehensif.
Memasuki milenium ketiga, terutama berkaitan dengan rencana
merubah IAIN menjadi universitas, arus kajian yang lintas disiplin akan semakin
ramai memasuki kampus ini. Dengan dibukanya jurusan ilmu-ilmu umum, seperti
matematika, astronomi, fisika, biologi, psikologi, dll., serta kemungkinan
besar IAIN akan merekrut dosen-dosen dari beberapa universitas umum, seperti
UI, ITB dan IPB. Tenaga-tenaga pengajar ini boleh jadi benar-benar menguasai
bidang mereka masing-masing. Tetapi, dari sudut epitemologi, mereka pasti
mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kalau ini dibiarkan begitu
saja, maka sudah bisa dibayangkan kebingungan yang akan dihadapi oleh seorang
mahasiswa yang mendapat pengajaran dari pelbagai dosen dengan pandangan
epistemologi yang berbeda, bahkan mungkin kontras satu sama lain. Misalnya,
seorang dosen mengatakan bahwa sumber ilmu hanyalah inderawi, dan metodenya
hanyalah observasi. Yang lain mengatakan bahwa sumber ilmu itu adalah inderawi,
akal dan hati. Sementara yang lain mengatakan hanya inderawi dan akal.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problem besar yang mungkin
terjadi, IAIN harus merumuskan visi epistemologinya, yang tentunya, cocok
dengan pandangan fundamental Islam. Setidaknya, visi epistemologi ini harus
meliputi dua aspek utamanya: (1) ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, (2) sumber
serta metodologi ilmu. Melalui penjelasan keduanya, diharapkan setiap dosen
memiliki pedoman yang jelas dalam membahas aspek-aspek teoritis ilmu
pengetahuan apapun yang diajarkan.
Dua pertanyaan mendasar dalam setiap teori ilmu adalah pertama,
“Apa yang dapat kita ketahui”, dan kedua, “Bagaimana kita
mengetahuinya.” Pertanyaanpertama secara langsung berkaitan dengan
lingkup dan obyek ilmu, sementara yang kedua terkait dengan
sumber dan metode lain.
Dalam pandangan keilmuan Islam, obyek ilmu sama halnya dengan
rangkaian wujud (eksistensi), baik yang gaib (metafisika) maupun yang lahir
(fisik). Karena itu, ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina dan al-Biruni,
mempunyai pandangan dunia yang melukiskan susunan wujud dari yang tertinggi
(Tuhan) kemudian turun melalui akal atau entitas rohani (malaikat), serta jiwa
dan benda angkasa, hingga yang terendah (alam dunia), atau apa yang disebut
sebagai dunia di bawah Bulan. Susunan wujud seperti ini disebut kosmologi.
Berbagai wujud yang tersusun dalam kosmologi ini, lalu terpilah
manjadi pelbagai obyek ilmu, lantas muncullah klasifikasi ilmu. Klasifikasi
ilmu ini dipandang penting oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim, bukan sekadar untuk
mengetahui lingkup pengetahuan manusia, bahkan untuk melihat hubungan antara
suatu cabang ilmu dengan yang lainnya.18
Yang terpenting dalam pembicaraan tentang lingkup dan obyek-obyek
ilmu ini adalah bahwa setiap cabang ilmu mempunyai korelasi ontologis positif
dengan obyek-obyeknya. Artinya, setiap obyek dari cabang ilmu itu harus diakui
dan diyakini keberadaannya, apakah ia bersifat gaib (metafisik) maupun nyata
(fisik). Misalnya, metafisika berkorelasi secara ontologis dengan obyek-obyek
yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, jiwa, alam barzah, surga dan
neraka. Obyek-obyek tersebut, yang oleh para filosof Muslim disebut sebagai
obyek-obyek ma‘qûlî (intelligible), sementara oleh
agamawan disebut alam gaib/rohani (supranatural), diakui serta diyakini
keberadaannya oleh para sarjana Muslim (seperti tuntunan agamanya). Sebagaimana
obyek-obyek mahsûsî (sensible) menjadi obyek
dalam ilmu fisika, astronomi, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, dll.
Pengakuan terhadap status ontologis obyek-obyek itu, baik yang ma‘qûlîmaupun mahsûsî,
pada gilirannya akan mengarah kepada pengakuan terhadap status keilmuan dari
cabang-cabang ilmu yang masuk dalam klasifikasi/lingkup ilmu yang kita
kembangkan. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat banyak cabang ilmu yang telah
dikembangkan para sarjana Muslim, seperti metafisika, kosmologi, eskatologi,
mistisisme, dll., telah diragukan status ilmiahnya oleh para sarjana Barat
modern, hanya karena keraguan mereka sendiri terhadap status ontologis dari
obyek-obyek ilmu tersebut yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara
empiris melalui eksperimen.
Masalah epistemologi lain yang tidak kalah pentingnya adalah
sumber dan metode ilmu yang berkaitan langsung dengan pertanyaan kedua,
yaitu “bagaimana” atau “dengan apa” kita bisa mengetahui sebuah obyek ilmu
pengetahuan. Pertanyaan ini mengacu pada “alat” atau “sumber”, yang dengannya
manusia mampu mencapai pengetahuan tentang obyek-obyek yang berbeda sifatnya.
Setiap epistemologi yang dibangun para sarjana Muslim, mesti menggagas
setidaknya tiga sumber atau alat ilmu yang sama-sama diakui keabsahannya, yakni
inderawi, akal dan hati (intuisi).
Melalui “inderawi” atau “persepsi indrawi” (sense-perception),
bisa dikembangkan metode observasi berdasarkan data-data empiris dan
eksperimental. Metode observasi ini telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan
muslim dalam berbagai disiplin ilmu alam, seperti kimia, astronomi, optik, dll.
Metode observasi dan eksperimen berguna untuk menguji teori-teori lama
sekaligus menemukan teori-teori baru.
Seperti telah disinggung di atas, selain panca indra, para sarjana
Muslim telah mengakui akal sebagai sumber dan alat untuk menangkap realitas.
Dari sini, mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasional atau
diskursif (bahtsî). Sebagaimana inderawi bisa menangkap
obyek-obyek rohani (mahsûsî) atau metafisika secara silogistik,
yakni manarik kesimpulan tentang hal-hal yang belum/tak diketahui (the
unknown) dari hal-hal yang telah diketahui (the known). Dengan cara
inilah akal manusia, melalui penalaran dan penelitian terhadap alam semesta,
bisa mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya.19
Selain metode observasi dan rasional, para epistemolog Muslim juga
mengakui metode lain untuk menangkap pelbagai realitas spiritual atau
metafisika, yaitu metode intuitif atau eksperiensial (dzawqî), seperti
yang dikembangkan oleh para sufi dan filosof Isyrâqî. Kendati sama-sama
berfungsi untuk menangkap pelbagai realitas metafisika, tetapi terdapat
perbedaan metodologis yang fundamental antara akal dan intuisi. Karena, akal
menangkap obyek tersebut secara inferensial, sementara intuisi menangkapnya
secara langsung (eksperiensial). Sehingga, ia mampu melintasi jurang lebar
antara subyek dan obyek. Ciri utama epistemologi Islam adalah menggagas bahwa
bukan hanya pengalaman indrawi yang dipandang “real”, tetapi juga
pengalaman akal dan intuisi. Karenanya, masing-masing patut diperhatikan dalam
visi epistemologi IAIN. Mengabaikan salah satu dari ketiganya, sama halnya
dengan mengabaikan realitas itu sendiri. Kalau kita mengabaikan pengalaman
intuisi, misalnya, maka dengan sendirinya kita akan mengabaikan pengalaman yang
menjadi dasar kenabian. Demikian juga pengalaman mistik yang telah menjadi
sumber kreatif spitualitas Islam.
Etika
Islam
Melihat kondisi moral masyarakat akhir-akhir ini yang semakin
menurun, maka sudah selayaknya IAIN memiliki visi etika yang mampu menjawab
kebutuhan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini masih ada banyak
kesalah-pahaman terhadap etika atau filsafat moral. Etika acapkali digagas
sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan jarang
dikaitkan dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani.
Karenanya, semakin penting peran IAIN dalam perumusan visi etika yang tegas dan
jelas.
Dengan demikian, cara pandang etika IAIN setidaknya dapat meliputi
tiga aspek: (1) Etika yang terkait dengan pencarian kebahagiaan, (2) Etika yang
terkait dengan rasionalitas dan ilmu, (3) Etika sebagai Pengobatan Rohani.
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah
memperoleh kebahagiaan,20 seperti tercermin dalam karya
al-Farabi, Tahshîl al-Sa‘âdah. Mengkaitkan etika dengan
kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan,
dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik
dan buruk, benar dan salah.21 Etika ingin agar manusia
menjadi baik,22 karena hanya dengan menjadi baiklah
seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat
mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan
rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam
kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau
minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa
membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau
menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya,
bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan
dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak
manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap
penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa,
tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih
beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad)
bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.
Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau
jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlâk al-karîmah––
maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan
penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan.
Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam.
Nashîr al-Dîn al-Thûsî (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy)
manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan
hewan;23 dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia
menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi
bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan
fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas
diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.24
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka.
Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas
manusia juga punya fungsi manajerial (tadbîr). Dengan fungsi
kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat
diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai
fungsi mengatur. Al-Râzî (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Rûhanî (Pengobatan
Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan
seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga
merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat
menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”25
Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal
—atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri
dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs
al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu
rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau
kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium)
di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseim-bangan ini
baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni
telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal
atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi
tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut
“kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika,
menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis,
seperti halnya ekonomi dan politik.26 Sebagai ilmu
praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya
kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan
dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara
filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang
tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan
manusia.27
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat
diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi,
adalah cahaya (al-‘ilm nûr) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat
diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam
hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan
remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu
dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si
pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam
perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan
selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya,
sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia
akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika
Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik
moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi
baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki
memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol
ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita
mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon
yang tidak berbuah.28 Demikian juga, amal saja tanpa
ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950)
mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan
antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis,29 dengan kata
lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik
al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa
manusia menuju kebahagiaan.
Etika juga telah dipandang oleh para filosof Muslim sebagai pengobatan
atau “kedokteran” rohani, sebagaimana tercermin dalam judul buku Thibb
al-Rûhanî(Kedokteran Rohani), buah karya al-Râzî, seorang ahli
kedokteran abad kesepuluh.30
Peran etika sebagai kedokteran rohani sangat sifnifikan. Para
filosof Muslim mensejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari
kepentingannya, maupun dari metodenya. Jika kita menganggap penting ilmu
kedokteran untuk memelihara kesehatan tubuh kita, maka demikian juga kita
sangat membutuhkan etika untuk memelihara kesehatan mental kita. Kalau pada
saat ini lebih banyak orang yang datang ke dokter medis untuk memeriksakan
kesehatan atau mengobati tubuhnya dibanding dengan yang datang ke ahli etika untuk
mengkonsultasikan kesehatan mentalnya, dengan sendirinya, bukan berarti bahwa
etika tidak penting. Mungkin, hal ini terjadi lantaran mereka tidak/belum
mengetahui apa makna dan manfaat etika yang sebenarnya bagi dirinya. Atau, ia
merupakan refleksi manusia modern yang lebih menekankan aspek jasmani ketimbang
rohani. Keduanya bermuara pada kecenderungan materialistik, bukan pada fakta
bahwa di jaman moderen ini etika dianggap tidak perlu. Dibanding manusia masa
silam, manusia moderen jauh lebih memerlukan etika, karena krisis moral yang
parah sedang melandanya, misalnya pembunuhan sadis, pemerkosaan masal,
penjarahan dan lain-lain.
Perbandingan kepentingan antara etika dan kedokteran sebagai
disiplin ilmu yang terurai di atas, bisa kita terapkan terhadap metode
perawatan dan pengobatan dalam kedua disiplin itu. Metode pengobatan etika sama
halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan kuratif. Miskawaih,
dalam bukunya Tahdzîb al-Akhlâk, mengatakan bahwa perawatan
tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu memelihara dan mengobati. Demikian juga
dalam perawatan mental, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan berusaha
memulihkannya bila telah hilang dengan cara mengobatinya.31 Karenanya,
dalam rangka memelihara kesehatan jiwa, Miskawaih menyuguhkan lima
kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-pandai mencari teman yang baik,
agar tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk tabiatnya. Karena, sekali
bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar kita akan mencuri tabiat buruk
mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia menodai jiwa kita; (2) Berolah
fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya dengan berolah raga bagi kesehatan
badan. Karenanya, berolah pikir -dalam bentuk kontemplasi, refleksi, dll.-
sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian
kehormatan dengan tidak merangsang nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik
dengan perbuatan, agar kita tidak terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan;
dan (5) Berusaha memperbaiki diri yang diawali dengan mencari dan mengenali
kelemahan diri sendiri.32
Selain memelihara kesehatan jiwa, etika juga berupaya mengobati
penyakit yang menimpa mental, sehingga kesehatan mental dapat dipulihkan. Upaya
ini dilakukan dengan mendiagnosis penyakit, mencari sebab musabab, lantas
mengobatinya seefektif mungkin. Metode demikian disuguhkan al-Kindi (w. 866)
dalam karyanya yang berjudul al-Hilâh li Daf’ al-Ahzân (seni
menepis kesedihan). Di sini al-Kindi berupaya menganalisis sebuah penyakit jiwa
yang disebut “kesedihan” (al-huzn). Pada mula pertama ia menyebutkan
sebab terjadinya, seraya berkata bahwa “kesedihan adalah penyakit jiwa lantaran
hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba.”33 Lalu,
al-Kindi menawarkan solusi pengobatannya, pertama, perihal
hilangnya yang dicinta, al-Kindi menganjurkan untuk bisa memahami sifat dasar
makhluk dunia yang fana. Apapun yang kita cintai di dunia ini akan musnah, maka
janganlah mengharapkan mereka kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap
yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu
luputnya yang didamba bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup yang
sederhana, suka menerima (qanâ‘ah), menyesuaikan keinginan dengan
kemampuan dan kemungkinan yang kita miliki, agar tidak lebih besar pasak
daripada tiangnya
Menjadikan
IAIN Sebagai Pusat Pemikiran dan Filsafat Islam
Visi seluas dan setajam apapun tidak akan punya pengaruh seperti
yang diharapkan, jika tidak diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih
kongkrit, atau dikembangkan dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan yang relevan
dan menunjang visi tersebut. Karena itu, visi yang telah ditawarkan pada bagian
terdahulu perlu diwujudkan dalam bentuk Pusat Kajian Filsafat (pemikiran) Islam
yang handal dan komprehensif dengan tujuan ganda: (1) memberi jawaban
komprehensif dan rasional bagi tantangan dan kritik tajam dari para ilmuwan dan
filosof Barat sekuler terhadap bangun metafisika yang berimplikasi terhadap
sistem epistemologi dan etika Islam.34 (2) Mengantisipasi
kebutuhan informasi perihal filsafat dan pemikiran Islam di masa datang. Ini
terkait dengan bangkitnya kembali metafisika di Barat, dan pencarian hikmah
dari tradisi keagamaan Timur (termasuk Islam, terutama aspek pemikiran dan
spiritual) oleh para ilmuwan serta cendekiawan Barat.35
Setiap lembaga pendidikan tinggi yang baik harus memiliki “Center
of Exellence”. Sangat memungkinkan bagi IAIN untuk membuat dirinya sebagai
pusat pemikiran dan kajian filsafat Islam, yang kelak akan menjadi
kebanggaannya, lantaran: (1) betapa pun besarnya minat IAIN dan mahasiswanya
terhadap filsafat dan pemikiran Barat, tak kan mampu mengejar
ketinggalan di bidang ini, misalnya, dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara. Sebagai lembaga pendidikan Islam, terasa janggal bila IAIN
menjadikan filsafat “Barat” sebagai center atau point
of exellence-nya. (2) Sebenarnya, IAIN memiliki SDM yang handal,
yang telah banyak dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga lain, formal maupun
non-formal, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh IAIN sendiri.
Kehandalan ini bukan hanya pada keluasan cakrawala berpikir, bahkan penguasaan
bahasa asing yang sangat dibutuhkan, baik untuk menimba maupun mentransfer ilmu
dan menerjemah, dalam upaya menghimpun data dan informasi yang akan
dibutuhkan oleh IAIN sebagi pusat studi filsafat dan pemikiran Islam. (3) Hal
lain yang menunjang atau memungkinkan untuk membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian
Pemikiran Islam adalah semakin tersedianya bahan-bahan mental (material) yang
sangat potensial untuk digali baik dari khasanah klasik Islam, maupun dari
hasil-hasil pengkajian sarjana moderen terhadap pemikiran dan spiritualitas
Islam.36
Membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Filsafat dan Pemikiran Islam,
sebagai mana STF Driyarkara sebagai Pusat Kajian Filsafat Barat dan Kristen,
menunjuk kepada perlunya gebrakan-gebrakan baru yang signifikan dan mesti
diperkuat pelbagai kebijakan, baik dari IAIN sendiri maupun instansi terkait.
Kendati memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini mesti direalisasikan.
Sebab informasi dan data yang tersedia, terutama di bidang filsafat Islam,
telah sangat tidak memadai. Karenanya, perlu dilakukan pelbagai pengembangan
besar, demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Upaya di atas sekaligus menunjuk kepada upaya membuka (melalui
penelitian dan pengembangan) pelbagai lahan filsafat yang sangat potensial
untuk digali. Misalnya, pengenalan tokoh-tokoh filsafat yang belum begitu
dikenal (the Minor Philosophers), penerjemahan karya-karya utama,
pengembangan bidang-bidang tertentu dalam filsafat ––metafisika, epistemologi,
etika dan politik–– dan pelbagai hal yang terkait dengan literatur filsafat
Islam.
Pengenalan terhadap segelintir filosof utama Muslim (enam orang)
oleh Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam,
kendati sangat berguna, namun sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan
IAIN sebagai pusat informasi pemikiran Islam. Penyajian ulang secara terus
menerus sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan dan
penambahan selama lebih dari seperempat abad. Ini mengesankan
seolah-olah dunia Islam hanya memiliki sedikit filosof. Padahal, dunia Islam
abad ketiga belas, sebagaimana dilaporkan Ibn Abî Ushaybi’ah dalam ‘Uyûn
al-’anbâ’ fî Thabaqât al-Athibbâ’, telah memiliki lebih dari 350 filosof
besar dan kecil.37 Tentunya, itu belum termasuk beberapa
filosof lain yang diungkapkan biografer lainnya, seperti Syams al-Dîn Sahrarûzî
dalam Nuzhat al-Arwâh wa Raudlat al-Afrâh, yang
memuat biografi “Shaikh Isyrâqî” Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191), dan
Dzâhir al-Dîn Bayhaqî dalam Târîkh Hukamâ’ al-Islâm.38
Berarti, lahan garap filsafat di bidang tokoh (biografis) masih
sangat luas dan dalam, lantaran masih ada ratusan tokoh filsafat, dengan corak
pemikiran yang kaya dan berbeda-beda, yang belum diperkenalkan. Penggalian data
dan informasinya bisa ditempuh melalui upaya: (1) kajian intensif (bahkan penerjemahan)
beberapa karya biografis filosofis dan ilmiah yang pernah ditulis oleh para
cendekiawan Muslim klasik, seperti tiga karya yang tersebut di atas, ditambah
karya-karya biografis lain seperti al-Fihrist oleh Ibn
al-Nadîm,39 Ikhbâr al-‘Ulamâ’ bi Akhbâr al-Hukamâ’ oleh
Ibn Qifthî,40 danThabaqât al-Athibbâ’ wa al-Hukamâ’ oleh
Ibn Juljul;41 (2) mencermati perkembangan kesarjanaan
filsafat Islam komtemporer, baik oleh para sarjana Barat maupun Muslim, dalam
monografi mereka berkenaan dengan para filosof Muslim tertentu yang belum
begitu dikenal. Misalnya, perihal Abu Sulayman al-Sijistani oleh Joel L.
Kraemer dalam The Philosophy in The Renaissance of Islam;42 perihal
Abu al-Hasan al-Amiri oleh Everett K. Rowson dalam A Muslim Philosoher
on the Soul and its Fate: al-Âmiri’s Kitâb al-Amâd ‘alâ al-Abad;43 atau
Subhan Khalifat dalam Rasâ’il Abî al-Hasan al-Âmirî wa
Syadzâtatuhu al-Falsafiyah44 yang membahas seluruh
karya al-Âmirî yang ada. Juga perihal biografi dan pandangan Qutb al-Dîn
Syîrâzî, seorang ahli kedokteran dan astronomi Muslim abad ke tigabelas Masehi,
dikedepankan oleh John Walbridge dalam The Science of Mystic Lights:
Qutb al-Din Shirazi and the Illuninationist Tradition in Islamic Philosophy;45 perihal
Abû Ya‘qûb al-Sijistanî disajikan dalam karya terjemahannya The
Wellsprings of Wisdomoleh Paul E. Walker;46 dan
masih banyak monografi lain yang patut mendapatkan perhatian kita.
Cara lain yang lebih efektif dalam pengembangan lahan-lahan
potensial Filsafat Islam adalah dengan menghimpun (mengoleksi) karya-karya
filosofis Muslim untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang baik. Pengkajian dan penerjemahan ini akan sangat berguna bagi
pemahaman dan pengembangan wawasan filosofis Islam, yang selama ini hanya
dinikmati melalui karya-karya sekunder, bertujuan menghidari kesalahpahaman
akibat ketidakmampuan mengakses secara langsung karya-karya utama (materpiece)
para filosof kita. Ratusan karya filosofis, ilmiah, dan mistis masih menunggu
upaya-upaya yang serius. Misalnya, dalam bidang filsafat terdapat
karya-karya agung seperti Fî al-Falsafah al-Ulâ47 buah
karya al-Kindi, Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadhîlah48 buah
karya al-Farabî, al-Syifâ’ dan al-Isyârât wa al-Tanbîhât49 buah
karya Ibn Sinâ, Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât50 buah
karya Suhrawardi, The Nashirean Ethics51 buah karya
Nashîr al-Dîn Thûsî, serta Kitâb al-Asfâr al-Arba’ah dan Hikmat
al-‘Arsy52 buah karya Mullah Shadra, dll. Demikian
juga karya-karya ilmiah di pelbagai bidang, seperti Kitâb al-Manâzhir membahas
optika buah karya Ibn Haytsam (w. 1039), al-Hawi fi al-Thibb dan al-Thibb
al-Rûhanî 53 buah karya Abu Bakr al-Razi,al-Qanûn
fî al-Thibb buah karya Ibn Sina dan al-Syamil fî al-Thibb buah
karya Ibn Nafis (w. 1288),54 serta karya-karya di bidang
medis. Di bidang astronomi, kita juga punya kitab-kitab agung seperti Zij-I
Ilkhânî karya Nashîr al-Dîn Thûsî (w. 1274), dan Durrat al-Tâj
li Ghurrat al-Dubaj55 karya Quthb al-Dîn Syîrazî. Sementara
bidang tasawuf, yang tidak bisa dipisahkan dari wacana filsafat, terdapat
karya-karya agung yang patut dikaji dan diterjemahkan. Misalnya, Matsnawi dan Diwân-I
Syams-I Tabrîz56 karya seorang penyair sufi terbesar
Persia, Jalal al-din Rumi (w. 1273), Fushûsh al-Hikam dan al-Futûhât
al-Makkiyyah57 karya Ibn ‘Arabi (w. 1240), Lama’at58 karya
Fakhr al-Dîn ‘Iraqî (w. 1289), dan Munâjât59 karya
Khwaja Abdullah Anshari (w. 1089).
Filsafat Islam, yang baru dasarnya saja diperkenalkan oleh
almarhum Nasution, patut sekali dikembangkan secara lebih rinci menurut
bidang-bidang utamanya: metafisika, epistemologi, etika dan politik. Di bidang
metafisika, pengembangan bukan hanya pada masalah ketuhanan dalam pelbagai
konsep para filosof Muslim, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Abu Sulaiman
al-Sijistani, al-Kirmani, al-’Amiri dll., sebagaimana yang dipaparkan Ian
Netton dalam Allah Transcendent: Studies in The Structure and Semiotics
of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology.60 Perihal
bukti-bukti filosofis keberadaan-Nya, misalnya dalil al-hudûts yang
dikembangkan al-Kindi, dalil al-jawâz oleh Ibn Sina maupun
dalil al-inâyah61 oleh Ibn Rusyd. Bahkan
bidang-bidang kosmologis, konsep akal (intelek),62 konsep
eskatologis, termasuk alam barzakh dan alam mitsal yang
menjadi perhatian utama Henry Corbin dalam Spiritual Body and Celestial
Earth juga Fazlur Rahman dalam The Philosohy of Mulla Shadra.63 Hal
penting yang sering dilewatkan dalam kajian metafisika di IAIN adalah kajian
yang berkaitan dengan wujud (eksistensialisme), yang telah menjadi topik utama
dalam karya-karya monumental para filosof Muslim.64 Di
bidang epistemologi, pengembangan bisa dalam bentuk kajian intensif perihal
pandangan epistemologis para filosof dan ilmuwan Muslim yang selama ini jarang sekali
disentuh, kendati hal ini dirasa mendesak. Misalnya, pancarian pandangan
keilmuan yang harmonis, sebagai alternatif bagi pandangan keilmuan Barat yang
dirasakan semakin timpang.65 Karya-karya utama para
filosof Muslim yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan, seperti Ihshâ’
al-‘Ulûm karya al-Farabi, al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn karya al-Ghazali, Durrat al-Taj li-Gurrat
al-Dubaj karya Quthb al-Din Syirazi (w. 1311), dan al-Muqaddimah karya
Ibn Khaldun (w.1406), merupakan rujukan utama dalam wacana epistemologi Islam.
Di dalamnya dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta
metode-metodenya.66 Kita pun patut memperhatikan
karya-karay besar di bidang filsafat Islam kontemporer yang membahas pelbagai
aspek epistemologi Islam secara panjang lebar dan mendalam, sebagaimana karya
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence.67
Etika filosofis yang dikembangkan para filosof Muslim pun perlu
mendapatkan perhatian serius, mengingat langkanya kajian filsafat Islam di
bidang ini. Hingga kini masih terdapat pandangan yang kabur perihal obyek,
tujuan dan pembahasan pokok dalam etika filosofis, lantaran acapkali terjadi
kesalahpahaman. Selain itu, kondisi psikologis dan mental masyarakat
akhir-akhir ini menunjukan dekadensi yang mencolok. Pelbagai persoalan moral
muncul dengan sangat memalukan, karenanya pengkajian di bidang ini dirasakan
semakin urgen. Mengingat etika, menurut para pemikir Muslim, tiada lain adalah
ilmu pengobatan rohani yang sangat dibutuhkan manusia, di mana saja dan kapan
saja, lebih-lebih dalam keadaan yang serba tidak menentu seperti sekarang ini.
Sebenarnya, kita amat beruntung telah memperoleh karya-karya agung perihal
etika yang isu-isu moralnya cukup menarik untuk diperbincangkan, misalnya
perihal kebahagiaan, pembinaan karakter, pelbagai keutamaan dan penyakit moral,
serta pelbagai solusi bagi pelbagai masalah yang timbul. Seperti Tahdzîb
al-Ahklâq 68 karya Ibn Miskawaih, Nashirian
Ethics69 karya Nashîr al-Dîn Thûsî, al-Akhlâq
wa al-Siyârkarya Ibn Hazm,70 Akhlâq-I Jalâlî 71 karya
Jalâl al-Dîn al-Dawwânî, serta karya-karya filosof Muslim kontemporer seperti Falsafe
Akhlâq 72 karya Murtadla Muthahhari.
Terakhir, bagian filsafat Islam yang paling diabaikan adalah
bidang politik. Kendati perlu diakui bahwa teori politik yang dikembangkan para
filosof Muslim tidak begitu berpengaruh dalam praktek politik yang nyata dalam
masyarakat, ketimbang, misalnya, konsep politik kaum “jurist”, seperti
al-Mawardi, al-Juwayni, al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.73 Namun,
setidaknya sumbangan para filosof dalam hal ini patut diperhatikan. Para
filosof yang merumuskan teori-teori politik adalah mereka yang
langsung terjun dalam bidang politik, seperti Ibn Sina yang menjadi perdana
menteri bagi ‘Ala’ al-Dawlah, Nashir al-Din al-Thusi sebagai wazir dan
kepercayaan Hulagu Khan, Miskawayh sebagai wazir bagi ‘Adlul
al-Dawlah, dan Ibn Rusyd yang menjadiwazir bagi Ibn Ya’kub.
Karenanya, untuk melengkapi bidang garap filsafat di IAIN, sebagai pusat
pemikiran dan filsafat Islam, harus disertai perhatian khusus terhadap bidang
yang lagi aktual, yakni politik. Semestinya kita patut bersyukur lantaran telah
ada, paling tidak dua, karya yang secara khusus membahas pelbagai topik dan
bias politik dari filsafat Islam. Pertama, Political
Thought in Medieval Islam karya Erwin Rosenthal. Karya ini membahas
teori-teori kekhalifahan menurut al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Ibn
Taymiyah. Bahkan juga filsafat politik dalam Islam, dengan menampilkan
pandangan politik Ibn Sina, Ibn Bajja, Thusi dan al-Dawwani.74 Kedua,
karya yang secara eksklusif menyuguhkan pandangan politik para filosof, yakni The
Political Aspect of Islamic Philosophy. Di dalamnya dikemukakan berbagai
konsep politik ––banyak di antaranya untuk pertama kali–– berasal dari hampir
semua filosof besar Muslim, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn
Bajjah. Ibn Thufayl, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan Quthb al-Din Syirazi. Karya
yang dengan apik diedit oleh Charles E. Butterworth ini memuat
sumbangan para penulis filsafat Islam yang terkenal, seperti ia sendiri, Paul
E. Walker, Miriam Galston, Stephen Harvey, Hossein Ziai dan John Walbridge.75 Semua
karya ini sangat mendesak untuk diteliti dan dikembangkan oleh civitas
akademika IAIN.
Ada beberapa hal lagi yang juga patut menjadi perhatian kita dan
bisa menjadi lahan subur bagi pengembangan bidang filsafat Islam, seperti
literatur hikmah, kebangkitan metafisika di Barat, dan perkembangan filsafat
Islam kontemporer. Literatur hikmah merupakan bidang yang barangkali belum
disentuh secara serius, padahal khazanah Islam sangat kaya dengan karya-karya
hikmah yang agung. Literatur hikmah yang saya maksud adalah kumpulan karya para
filosof Muslim maupun non-Muslim, berisi nasehat moral, religius, politik, juga
anekdot-anekdot yang sarat dengan kandungan moral. Diantaranya, Nawâdir
al-Falâsifah76 karya Hunain b. Ishaq, al-Hikmah
al-Khalîdah karya Ibn Miskawayh, al-Kalâm al-Rûhâniyyah karya
Ibn Hindu, Shiwan al-Hikmah karya Abu Sulayman
al-Sijistani,77 dan Mukhtâr al-Hikam wa Mahâsin
al-Hikam, karya Mubasysyir b. Fatik.78
Selain literatur hikmah, perkembangan metafisika dalam bentuk
filsafat perenial di bawah pimpinan Rene Guenon, juga merupakan lahan yang
kaya, sangat berguna dan menarik untuk dikaji secara intensif. Rene Gueson dan
murid-muridnya seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Titus Burckhardt, dll.,
merupakan generasi baru intelektual Barat yang tersadarkan dari kematian
spiritualitas dunia Barat. Lalu, berupaya merumuskan metafisika yang sangat
kreatif sebagai pandangan alternatif bagi filsafat materialistik Barat. Yang
terpenting adalah bahwa mereka telah mengambil tradisi-tradisi besar Timur
termasuk Islam (dalam bentuk sufismenya) sebagai sumber inspirasi mereka, dan
lebih penting lagi fakta bahwa banyak di antara mereka yang menjadi Muslim.
Karena itu, kita punya kepentingan yang besar terhadap karya-karya mereka, bila
memiliki rasa ingin tahu bagaimana kontak yang terjadi pada tataran metafisika
antara Barat dan Timur. Mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya kreatif,
seperti What is Sufism? karya Martin Lings, An Introduction
to Sufi Doctrines dan The Mirror of Intellect karya
Titus Burckhardt, The Reign of Quantity79 karya
Guenon, dan beberapa karya cemerlang dari Frithjof Schuon seperti The
Transcendent Unity of Religions, Sufism, Sufism: Veil and Quintessence, Light
on the Ancient Worlds, dll.
Lahan lain yang mesti dikembangkan adalah perkembangan filsafat
Islam kontemporer dan modern, atau yang lebih dikenal sebagai filsafat
pasca-Ibn Rusd. Banyak sekali filosof Muslim yang telah menyumbangkan
karya-karya orisinil mereka di bidang filsafat pasca-Ibn Rusyd, namun sayang
perhatian kita masih sangat minim. Seperti Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi,
Nashir al-Din Thusi, Syam al-Din Lahiji, Mulla Shadra, ‘Abd al-Razzaq Lahiji,
Muhsin Faydl Kasyani, dll. adalah para tokoh baru yang namanya terdengar samar-samar.
Beberapa tokoh yang hidup pada abad kedua puluh seperti Astiyani, Tabataba’i,
Murtadla Muthahhari, dan tentu saja Mehdi Ha’iri Yazdi, adalah para tokoh yang
mesti dikaji secara intensif dan serius. Karena, dalam karya mereka tercermin
bagaimana reaksi para fiolsof Muslim terhadap perkembangan filsafat Barat. Ini
mesti digagas, bila IAIN ingin menjadi Pusat pemikiran dan Filsafat Islam.
Sebenarnya telah tersedia dua karya penting Henry Cobin, pertama, History
of Islamic Philosophy yang membahas sejarah filsafat Islam, sejak
munculnya hingga banyak filosof pasca-Ibn Rusyd; kedua,Spiritual
Body and Celestial Earth, yang melacak secara khusus pemikiran para filosof
dan Sufi pasca-Ibn Rusyd, khususnya konsep mereka tentang alammitsal.
Suatu bidang kajian yang belum tersentuh dalam kurikulum kita.
Penutup
Demikianlah yang dapat saya sajikan berkenaan dengan upaya
membangun kerangka keilmuan di IAIN dalam memasuki milenium ketiga, khususnya
dari perspektif filosofis. Tentu saja, semua ini akan sangat efektif bila
diimplementasikan bukan saja dalam lembaga-lembaga kajian, bahkan dalam
kurikulum filsafat di IAIN,80 baik tingkat S1 maupun S2. Jadi,
kalau kita lihat dari apa yang telah disajikan, nampak khazanah filsafat Islam
sangat kaya, dalam dan menarik. Tiada lain harapan saya, semoga apa yang saya
sampaikan dalam makalah ini akan menjadi masukan yang esensial teruatama dalam
menyusun kurikulum filsafat islam, yang saat ini masih terlalu sederhana dan
perlu terus dikembangkan. Terutama memasuki era baru milenium ketiga yang penuh
tantangan, sekaligus kesempatan yang tidak boleh begitu saja kita lewatkan.
Semoga bermanfaat.
Catatan Akhir
1 Dikutip oleh A.J. Ayer dari Cratylus, 402A,
dalam karyanya A Dictionary of Philosohical Quotations (Cambridge:
Blacwell Reference, 1992), halaman 182.
2 Dikutip oleh A. J. Ayer
dalam “Matter and Memory”, dalam Ibid., halaman 51.
3 Lihat Mulyadi Kartanegara, Renungan
Mistik Jalal ad-Din Rumi(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), halaman 35.
4 Seyyed Hossein Nasr, “Mulla
Sadra: His Teachings,” dalam Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic
Philosophy (London: Routledge, 1996), halaman 643.
5 Apresiasi yang kongkrit
terhadap pencapaian agung Prof. Dr. Harun Nasution, terlihat jelas dalam sebuah
karya yang ditulis dalam rangka peringatan 70 tahunnya, yang berjudul Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF),
di mana bukan hanya murid-muridnya yang memberikan apresiasi, tetapi juga
rekan-rekan sebayanya.
6 Antony Flew, Dictionary
of Philosophy, Revised Second Edition (New York: St. Martin’s
Press, 1984), halaman 229.
7 Untuk diskusi tentang
metafisika yang cocok dengan pandangan Islam, lihat artikel saya tentang
“Islamisasi Ilmu” di Republika pada tanggal 19 Juli 1997
dengan judul Menjajaki Kemungkinan Islamisasi Ilmu, dan proposal
saya untuk pendirian Pusat Kajian Filsafat IAIN yang berjudul Revitalisasi
Ilmu-ilmu Rasional.
8 Hodgson dalam bukunya The
Venture of Islam menyebut masa modern dimulai sejak tahun 1789 yang
merujuk kepada kompleks tertentu yang mempunyai ciri-ciri kultur tertentu.
Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah
Dalam Peradaban Dunia, terj. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina,
1999), halaman 70.
9 Lihat Antony Flew, A
Dictionary of Philosophy, halaman 197, juga Bertrand Russell, Religion
and Science, (London: Oxford University Press, tt.), halaman 58.
10 Charles Darwin, The
Autobiography of Charles Darwin, ed. Nora Barlow (London: Collins, 1958),
halaman 52.
11 Erich Fromm, Psychoanalysis
and Religion (London: Yale Univesity Press, 1977), halaman 11.
12 G. Duncan Mitchell (ed.), A
New Dictionary of Sociology (London: Routledge & Kegan Paul,
1981), halaman 59.
13 Buku God’s Wispher
and Creation’s Thunder pernah saya baca setelah dipinjamkan kepada
saya oleh Sdr. Budy-Munawwar Rahman. Adapun informasi di atas telah saya ingat
dan saya sangat terkesan olehnya.
14 Robert Jastrow, God
and the Astronomes, Warner Books Editions, New York, 1980, halaman 106.
15 Tentang riwayat hidup dari
Rene Guenon ini, kita patut bersyukur, lantaran telah ada yang menulisnya,
yaitu karya Robin Waterfield dengan judul Rene Guenon and the Future of
the West: the Life and Writings of a 20th—Century
Metaphysician (London: Crucible, Great Britain, 1987).
16 Buku The Sword of
Gnosis: Metaphysics, Cosmology, Tradition, Symbiolism, diedit oleh Jacob
Needleman, Arkana, London, 1986; bisa dinilai bagus dalam mewakili pandangan
para filosof perenial. Di sini, dimuat artikel-artikel yang menarik dari
tokoh-tokoh yang tersebut di atas.
17 Lihat Miska Muhammad Amin, Epistemologi
Islam: Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: UI Press,
1983).
18 Buku bagus yang berbicara
tentang ini misalnya Osman Bakar,Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), atau artikel saya berjudul
“Teori Ilmu Pengetahuan Islam,” yang dimuat dalam majalah ISNET,
Kalam Musafir, Amerika Serikat, 1994.
19 Lihat artikel saya,
“Menjajaki Kemungkinan Islamisasi Ilmu”, Republika, 19 Juli 1997.
20 Tentang hubungan etika dan
kebahagiaan, lihat makalah saya “Etika Islam dan Ilmu Pengetahuan,” yang telah
didiskusikan dalam seminar Etika Islam yang diselenggrakan oleh
Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia di Depok, 19 Januari
1999, dan akan diterbitkan dalam edisi khusus Jurnal Ilmiah Pusat Kajian Timur
Tengah dan Islam , tahun ini.
21 Lihat definisi etika oleh
Antony Flow, A Dictionary of Philosophy, halaman 113.
22 Karenanya Miskawaih memberi
judul karyanya Tahdzîb al-Akhlâk(Perbaikan Karakter), atau
pembentukan dan pendidikan untuk mencapai akhlak yang mulia.
23 Nashir al-Din Thusi, The
Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens (London: George Allen dan Unwin Ltd.,
1964), halaman 49.
24 Majid Fachry, Ethical
Theories in Islam (Leiden: E. J. Bill, 1991), halaman 120.
25 Muhammad bin Zakaria
al-Razi, Pengobatan Rohani (Bandung: Mizan, 1995), halaman
30.
26 Lihat Nashir al-Din
Thusi, Nasirean Etics, halaman 28.
27 Lihat Nashir al-Din
Thusi, Nasirean Etics, halaman 28.
28 Hadits tersebut berbunyi: “al-Ilm
bilâ ‘amal ka al-Syajar bilâ Tsamar” (ilmu tanpa amal ibarat pohon tak
berbuah), artinya sia-sia.
29 Lihat Majid Fachry, Etical
Theories in Islam, halaman 80.
30 Lihat al-Razi, Pengobatan
Rohani (Bandung: Mizan, 1995).
31 Miskawayh, The
Refinement of Character, terj. Konstantine Zurazk (Beirut: American
University of Beirut, 1968), halaman 157-158.
32 Miskawayh, The Refinement
of Character, halaman 158-170.
33 Majid Fachry, Ethical
Theories in Islam, halaman 68.
34 Lihat artikel saya berjudul
“Perlukah Islamisasi Ilmu”, Republika, 19 September 1997, halaman
6.
35 Lihat perihal Metafisika di
atas. Yang mesti diperhatikan adalah fakta bahwa komunitas Barat (terutama kaum
intelektualnya) telah memalingkan perhatiannya ke dunia Islam, demi menyadari
keunggulan spiritualitas Timur. Oleh karena itu kewajiban kita jugalah untuk
menggali Khazanah klasik kita sendiri, agar mampu menjawab kebutuhan Barat akan
spiritualitas.
36 Penjabaran bahan-bahan
mental kajian filsafat Islam akan dibahas pada bagian “Lahan-lahan Potensial
Filsafat Islam” di bawah.
37 Ibnu Abi Ushybi’maniah, ‘Uyûn
al-Anbâ’ fi Thabaqât al-Athibbâ’, Ed. Nizar Ridlah (Beirut: Mansyûrât Dâr
Maktabat al-Hayât, 1965).
38 Zhahir al-Din Bayhaqi, Tarikh
Hukama’ al-Islam atau Tatimmah Shiwan al-Hikmah, ed. Muhammad Kurd ‘Ali,
(Damaskus: Mathba’ al-Taraqqi, 1946).
39 Bayard Dodge (ed. &
terj.), The Fihrist of al-Nadim. vol. I-II (New York: Columbia
University Press, 1970).
40 Qifthi, Ikhbar
‘ulama biakhbar al-Hukama’, ed. Lippert (Liepzig, 1903).
41 Ibn Juljul, Thabaqat
al-Athibba’ wa al-Hukama’, Fuad Said (ed.) (Kairo: Mathba’ at al-Ma’had
al-Ilmi al-Faransi, tt.).
42 Joel L. Kraemer, The
Philosophy in the Renaissance of Islam, E.J. Brill, Leiden, 1986.
43 Everett K. Roeson, A Muslim
Philosopher on the Soul and its Fate: Al-‘Amiri’s Kitab al-Ahmad ‘ala al-Abad,
American Oriental Society, New Haven, Conneticut, 1988.
44 Subhan Khalifat, Rasa’il
Abi al-Hasan al-Amiri wa Syadzaratuhu al-falsafiyah, Mansyurat al-Jami’ah
al-Urdaniah, Amman, 1988.
45 John Walbridge, The
Science of Myistic Light, Harvard University Center for Middle Eastern
Studies, 1992.
46 Paul E. Walker, The
Wellsprings of Wisdom: A Study of Abu Ya’qub al-sijistani’s Kitab al-Yanabi’,
University of Utah Press, Salt Lake City, 1994.
47 Alfred L. Ivry, Al-Kindi’s
Metaphysics: A Translation of Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi’s fi al-falsafah
al-Ula, State University of New York Press, Albany, 1974.
48 Al-Farabi on the Perfec
State: Abu Nasr Al-Farabi’s Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, ed. Dan
terj. Walzer, Oxford University Press, 1985.
49 Ibn Sina, al-Syifa,
ed. Dr. Ibrahim Madkur, Al-Hai’ah al-Ammiyah li Syu’un al-Thabi’ al-Amiriyah,
Kairo, 1960; Al-Isyarat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman dunia, Dar
Ihya’ al-kutub al-‘arabiyah. Kairo, 1947.
50 Henry Corbin, ed.,
Shibabuddin Yahya Suhrawardi, Euvres Philiosophiques et mistiques: Kitab
al-Talwihat, kitab al-Muqawamat, dan kitab al-Masyari’ wa’l-mutarahat, Academic
Imperiale Iranienne de Philosopyie, Tehran, 1964.
51 Nashir a;l-Din Thusi, The
Nasirian Ethics, George Allen & Unwin Ltd., London, 1964.
52 James Morris, The
Wisdom of the Throne, Princeton University Press, New Jessey, 1981.
53 Lihat, Al-Razi, Pengobatan
Ruhani, Mizan, 1995.
54 Lihat sejarah hidup Ibn
Nafis dankarya-karyanya oleh Sulaiman Fayyadh, Ibn Nafis, Penemu
Pembuluh darah Kapiler, Pustaka Mantiq, Yogyakarta, 1985, sedangkan tentang
al-qanun, lihat Goodman, Avicenna, Routledge, London, 1992.
55 Lihat Perincian tentang
karya ini dalam buu John Walbridge, The Science of Mayistic Light,
1992, halaman. 175-178
56 Tentang karya-karyanya lihat
Mulyadhi Kartanegara, Renungan Mistik Jalal al-Din Rumi, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1986.
57 Lihat William Chittick, The
Sufi Path of Knowledge, State University of New York, Albany, 1989.
58 Lihat Fakhruddin ‘iraqi:
Divine Falshse, terj. W. Chittick, Paulist Press, New York, 1982.
59 Victor Dannerr, Ibn
‘Atha’lla: The Book of wisdom & Kwaja Abdullah Ansari: Intimate
Conversations, Paulist Press, New York, 1978.
60 Ian Richard Netton, Allah
Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy,
Theology and Cosmologi, Curzon Press, Richmont, 1994.
61 Lihat Paper saya untuk
dimuat dalam Jurnal ilmiah Paramadina, “Tuhan dan Problem leberadaanya.”
62 Lihat Davidson, Alfarabi,
Avicenna, & Averroes, on Intellect, Oxford, University Press, 1992.
63 Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, State University of New York, Albany, 1976.
64 Dari mulai al-Farabi,
kemudian Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla shadra pembicaraan tentang wujud telah
menjadi kegiatan filsafat yang menonjol, sehingga terjadilah perdebatan antara
kaum esensialisdan eksistensialis Muslim yang cukup sengit.
65 Lihat Mul;yadhi
Kartanegasra, Revitalisai Khazanah Klasik Islam, terutama pada
bagian pendahuluannya, Buku ini insya Allah akan diterbitkan tahun ini oleh
Paramadina.
66 Lihat Mulyadhi Kartanegara,
“Teori Ilmu Pangetahuan Islam,”Kalam Musafir.”
67 Mehdi Ha’iri Yazdi, The
Principles of Epistimology in Islamic Philosophy:Knowledge by Presence,
State University of New York Press, Albany, 1992.
68 Lihat Maskawaih, The Refinement
of Character, 1968.
69 Lihat, Nasirean Ethics,
1964.
70 Lihat Muhammad Abu Layla, In
Pursuit of Virtue: The Moral Theology and Psychology of Ibn Hazm al-Andalusi,
with a translation of his Book al-Akhlaq wa’l Siyar, Taha Publhisers Ltd.,
London, 1990.
71 Jani Muhammad Asad (terj.),
Practical Philosophy of the Muhammadan People, Karimsons, Karachi, 1997.
72 Murtadha Muthahhari,
Falsafah Akhlak, Mizan, Bandung, 1995.
73 Lihat Ann K.S. Lambton, State
and Government in Medieval Islam, Oxford University Press, London, 1985.
74 Erwin Rosenthal, Political
Thought in Medical Islam, Political Thought in Medieval Islam,
Greenwood Press Publishers, Wesport, Connecticut, 1985.
75 Charles Butterworth, The
Political Aspects of Islamic Philosophy, Center for Middle eastern Studies,
Harvard Univesity Press, 1992.
76 Naskah asli Nawadir
al-falasifah karangan Hunain b. Ishaq tidak lestari, tetapi sebuah
resensinya oleh al-Anshari dengan judul Adab al-Falasifa telah
diedit oleh Abd al-Rahman Badawi, pada tahun 1985.
77 Shiwan al-hikmah hanya
lestari dalam dua resensinya yang pertama Muntakhab Shiwan al-Hikmah,
telah diedit oleh ‘Abd al-Rahman Badawi dan Dunlop, sedangkan yang kedua Mukhtashar
Shiwan al-Hikma oleh ‘Umar b. Sahlan al-Sawi, diedit pertama kali oleh
Mulyadhi kartanegara sebagai disertasi di Universitas Chicago (1996).
78 Mubasysyir b. Fatik, Mukhtar
al-Hikam wa mahasin al-Kalim, Ed. ‘Abd al-Rahman Badawi, Mathba’at al-Ma’had
al-Mishri li dirasat al- Islamiyah, Madrid, 1958
79 Lihat Robin Waterfield, Rene Guenon, 1987.
80 Tentang pengembangan
kurikulum IAIN dan PTAIN lihat artikel saya “Metodologi Kajian Filsafat Islam”
diterbitkan oleh Jurnal ilmiah Fakultas Ushuluddin Refleksi, vol.I,
no. 1, 1998, halaman 6-8.
0 komentar:
Posting Komentar