Kamis, 20 Oktober 2011

Problematika Kejahatan

Kejahatan adalah satu dari sekian banyak kesulitan yang berkaitan dengan persoalan keadilan Tuhan. Pembahasan ini terasa sulit, karena ia memang bukan persoalan ilmiah yang dapat dijawab melalui eksperimen dan observasi, bukan pula masalah praktis yang bisa diselesaikan dengan keputusan dan tindakan. Tetapi, ia lebih merupakan problem filosofis yang menghendaki suatu dalil pemikiran yang dapat menjelaskannya secara proporsional. Begitu fundamentalnya persoalan ini, sehingga hampir semua ajaran yang bersifat keagamaan (teologis) maupun kefilsafatan merasa perlu memberikan tanggapan dengan cara dan metodenya masing-masing.
Dalam konteks dunia Islam, persoalan kejahatan ini telah menyita energi dan pemikiran para filosof muslim, seperti al-Kindi, Ibnu Sina dan Mulla Shadra, serta kaum teolog khususnya Mu’tazilah. Adapun di Barat, akar sejarah perdebatan tentang theodicy ini setidaknya berasal dari para Epicurean, meski kerjanya yang tak terhitung sebenarnya telah dilakukan oleh kaum teolog dan filosof Kristen seperti St. Augustine. Akar permasalahan dalam perdebatan filsafat yang fundamental ini, baik di dunia Islam maupun Kristen, dapat dilacak dari jawaban para filosof terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalamnya. Secara umum, menurut Muthahhari, jawaban para filosof terhadap persoalan kejahatan berkisar pada tiga hal:
“Pertama, apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kebaikan dan kejahatan merupakan persoalan yang eksistensial dan realistis? Ataukah merupakan persoalan yang non-eksistensial dan relatif? Kedua, baik eksistensial atau non-eksistensial, apakah kebaikan dan kejahatan tersebut dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Jika tidak dapat dipilah-pilah, apakah alam dengan seluruh kebaikan dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, baik ataukah jahat? Yakni, apakah kebaikan lebih kuat ketimbang kejahatan, ataukah kejahatan lebih kuat ketimbang kebaikan, ataukah masing-masing tidak ada yang lebih kuat, melainkan keduanya seimbang. Ketiga, apakah kejahatan itu eksistensial atau non-eksistensial? Juga, apakah kebaikan itu dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Apakah kejahatan yang terjadi itu sama sekali tidak mengandung unsur kebaikan? Yakni, tidak mungkin menjadi pengantar atau sebab bagi kebaikan tertentu? Ataukah, bahwa pada relung setiap kejahatan terkandung satu unsur kebaikan atau bahkan lebih; dan bahwa setiap kejahatan itu menjadi sebab bagi satu kebaikan, bahkan lebih dari itu?”
Dari ketiga persoalan tersebut, ada kaum filosof yang memandang kebaikan dan kejahatan secara dualistik, sebagian mempertentangkan di antara keduanya, dan sebagiannya lagi mencoba membangun pemahaman yang lebih memandang wujud (being, existence) sebagai suatu sistem yang baik dan indah.

Problem Kejahatan dan Kaitannya dengan Keadilan Tuhan
Secara tradisional, menurut McCloskey, problem filosofis ini timbul dari adanya kontradiksi yang memerlukan penegasan bahwa Tuhan sebagai Pencipta Yang Maha Sempurna ada, dan kejahatan pun juga ada. Kontradiksi dimaksud adalah keadaan di mana manusia pada satu sisi dihadapkan pada keimanan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui dan sebagainya, namun pada lain sisi mereka juga menyaksikan beragam kejahatan dalam kehidupan.
Keadaan seperti ini, sepintas memang bisa membawa kepada suatu pembenaran pemikiran yang tidak mungkin dapat diterima oleh kaum beriman. Bahwa, jika Tuhan itu memang Maha Adil dan Maha Sempurna mengapa dalam ciptaan-Nya masih menunjukkan kekurangsempurnaan seperti bencana alam, penyakit, kemiskinan, kekafiran dan sebagainya. Tidakkah keadaan ini bisa disebut sebagai suatu kontradiksi dalam doktrin keimanan tersebut.
Bagi kaum teisme tradisional, Tuhan tetap ada sebagai yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Sempurna, meskipun ada kejahatan di dunia. Secara eksplisit, Mackie menjelaskan, memang tidak ada kontradiksi antara pernyataan bahwa “ada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui atau Maha Sempurna” dengan “ada kejahatan di muka bumi”. Namun, jika disadari bahwa wujud yang memiliki kebaikan itu mesti akan mengeliminasi kejahatan, dan bahwa tidak ada batasan bagi wujud yang maha kuasa untuk melakukan apa saja, termasuk kejahatan itu sendiri, maka di situ benar-benar ada kontradiksi. Sampai di sini, Journet merasa kesulitan untuk mengkaitkan secara akurat hubungan antara problem kejahatan dengan keadilan Tuhan, dan ia menyebutnya sebagai suatu misteri.
“If God does not exist, where does good come from? If he does exist, where does evil come from? If God is the source of good, can he also be the source of evil?…Evil exists and God exists. Their coexistence is a mystery.”
“Jika Tuhan tidak ada, dari mana asal kebaikan? Jika Dia benar-benar ada, dari mana asal kejahatan? Jika Tuhan adalah sumber kebaikan, dapatkah Dia juga menjadi sumber kejahatan?…Kejahatan ada dan Tuhan ada. Koeksistensi keduanya adalah suatu misteri.”
Sejalan dengan Mackie dan Journet, McCloskey juga mengisyaratkan adanya problem serupa. Dengan kalimat bersayap, ia berpendapat bahwa “ada kejahatan di dunia; sekalipun dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mestinya, wujud yang maha baik dan maha kuasa akan menciptakan dunia yang terbebas dari berbagai jenis kejahatan.”
Dalam tradisi pemikiran Islam, problem kejahatan ini ketika terkait dengan pembahasan tentang keadilan Tuhan juga memiliki sejarahnya sendiri yang distingtif. Berbagai aliran pemikiran memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda-beda tentang masalah ini, sesuai dengan prinsip mereka sendiri. Namun, dalam membahas tentang masalah keadilan Tuhan, mereka berbeda dari para filosof maupun sarjana Barat yang cenderung mendeskreditkan Tuhan. Para filosof dan sarjana muslim, apapun aliran pemikirannya, dalam membahas masalah ini orientasinya adalah untuk memelihara kemahasucian (tanzih) dan kemahaesaan (tawhid) Tuhan. Begitulah kiranya, karena arah kemunculan dan perkembangan filsafat di dalam Islam memang senantiasa mengalir dari dan dinafasi oleh prinsip tawhid.
Asy’ariah misalnya, suatu aliran pemikiran yang banyak diikuti kaum Sunni, tidak mempercayai keadilan Tuhan sebagai masalah kepercayaan, sehingga mereka menolak keadilan itu dijadikan sebagai matrik perbuatan Tuhan. Sebab, penetapan keadilan bagi perbuatan Tuhan itu sama halnya dengan membatasi iradat dan kehendak-Nya. Bagi kaum Asy’ariah, makna keadilan itu tidak memiliki hakikat sebelumnya, kecuali bahwa apapun yang diperbuat oleh Allah adalah keadilan. Dengan demikian, keadilan bukanlah tolok ukur bagi perbuatan Allah, melainkan perbuatan-Nya lah yang menjadi tolok ukur keadilan.
Adapun Mu’tazilah dan Syi’ah, yang bersebrangan dengan Asy’ariah, menjadikan keadilan Tuhan sebagai prinsip pemikiran. Mu’tazilah dan Syi’ah mempercayai bahwa keadilan ini merupakan dasar bagi perbuatan Tuhan, baik dalam mengatur alam maupun menegakkan hukum-hukum-Nya. Bagi Mu’tazilah dan Syi’ah, keadilan memiliki hakikat tersendiri. Sepanjang Allah itu Maha Bijak dan Adil, maka Dia akan melaksanakan perbuatan-Nya berdasarkan kriteria keadilan. Makna adil di sini bagi Allah, seperti penuturan Abdul Jabbar, adalah semua perbuatan-Nya bersifat baik; Tuhan tidak akan dan pernah berbuat jahat atau buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakannya. Artinya, sebagai misal, Tuhan tidak akan berdusta, tidak bersikap dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang kafir lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat pada pendusta, dan tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul manusia.
Dengan demikian, jika kembali pada permasalahan adanya kejahatan di dunia ini, maka menurut Mu’tazilah hal itu bukan dari Allah. Dalam faham ini, Allah tidak berbuat buruk karena perbuatan buruk itu timbul hanya dari wujud yang tidak sempurna, sedang Dia bersifat Maha Sempurna. Pernyataan bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat baik, menurut Mu’tazilah, belum cukup untuk mengekspresikan kemahabaikan-Nya. Atas dasar itu, mereka mengajarkan tentang al-shalah wa al-ashlah, suatu ajaran yang menegaskan bahwa wajib bagi Tuhan memberikan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.
Ajaran tentang al-shalah wa al-ashlah tersebut mengandung konskuensi logis bahwa kejahatan yang terjadi di dunia, dengan begitu, bukan berasal dari Tuhan. Bencana alam misalnya, bukan merupakan manifestasi kehendak dan perbuatan-Nya, tetapi sebagai akibat dari perbuatan manusia atau dinamika alam itu sendiri ketika tidak sejalan dengan hukum alam (sunnatullah) yang melekat pada dirinya. Menurut keyakinan kaum Mu’tazilah, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini telah diciptakan Allah lengkap dengan dinamikan dan hukum “keseimbangan” pada dirinya masing-masing. Setiap persinggungan antara satu dengan yang lain akan memberikan akibat positif atau negatif.
Dengan demikian, menurut pandangan kaum Mu’tazilah, setiap keburukan atau kejahatan yang menimpa sesuatu tidak lain merupakan implikasi dari interaksi dan dinamikanya dengan hukum yang melekat pada sesuatu yang lain. Kalau dikatakan bahwa mati adalah takdir Tuhan, maka artinya mati merupakan salah satu hukum-Nya yang berlaku bagi setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, setiap yang hidup mesti akan mengalami mati. Persoalannya hanya masalah sebab dan waktu, yakni sebab apa yang akan mengantarkan suatu makhluk hidup menuju kematiannya. Sebab di sini bisa merupakan sebab ekstern atau intern. Sebab ekstern berkaitan dengan pola interaksi makhluk hidup dengan sesuatu di luar dirinya. Sedangkan, sebab intern adalah hukum-hukum yang membatasi kejadiannya, misalnya adalah faktor usia. Jadi mati di sini, pada dataran fenomenalnya, hanyalah merupakan akibat dari rangkaian sebab.

Teodisi sebagai Persoalan Sudut Pandang
Teodisi, seperti dikatakan Huston Smith, sebagai pemikiran filosofis yang bergulat dengan persoalan kejahatan, merupakan batu karang. Keadilan Tuhan merupakan problem filosofis yang sangat fundamental, sehingga setiap sistem rasionalistik pada akhirnya akan terbentur. Tetapi, bukan berarti bahwa pemahaman terhadap problem kehidupan tersebut tidak dapat dimengerti, sebab ini sebenarnya hanya persoalan sudut pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan es krimnya, tragedi itu seakan merupakan akhir dunia baginya. Namun, tidak demikian halnya dengan pemahaman sang ibu.
Gambaran serupa juga bisa saja terjadi pada diri seorang agamawan, filosof, ilmuwan dan orang yang tidak beragama sekalipun ketika memandang pengalaman dan nilai-nilai pada dataran eksistensial. Seorang ateis mungkin akan mengatakan bahwa kejahatan termasuk persoalan yang bertentangan dengan keadilan Tuhan. Sedangkan politeis, sebagaimana kaum dualis, akan berpendapat bahwa jika ada kejahatan dan kebaikan maka meniscayakan adanya dua sumber wujud. Artinya, setiap kejahatan dan kebaikan, masing-masing akan berhubungan dengan sumber atau pencipta yang berbeda. Tetapi, dalam dunia monoteis, meskipun dualitas itu masih ada, kebaikan tetap sebagai yang berada di atas. Sebaliknya, dalam kesadaran mistik, kejahatan lenyap sama sekali dan hanya tinggal kebaikan, yaitu hanya ada Tuhan.
Oleh karena itu, sebelum memberikan komentar lebih jauh mengenai persoalan teodisi tersebut perlu dibahas apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kejahatan merupakan persoalan eksistensial dan realistis? Ataukah merupakan persoalan non-eksistensial dan relatif?
Bagi kaum ateis maupun politeis dan dualis, jawabnya jelas bahwa kejahatan itu memiliki essensi. Bahkan termasuk sifat-sifat buruk atau jahat, seperti pembohong, bakhil, khianat dan sebagainya merupakan sifat-sifat real pada manusia, dan sifat tersebut sekaligus merupakan esensinya. Kaum ateis memandang bahwa nilai merupakan salah satu aspek dari pengalaman, sehingga kejahatan sebagai suatu nilai esensinya mesti digali dari pengalaman. Dengan kata lain, nilai kejahatan itu tidak akan pernah ada jika ia tidak termanifestasi secara eksistensial di lapangan.
Adapun kaum dualis, meskipun juga menegaskan tentang adanya hakikat wujud jahat, sebenarnya hendak membebaskan Tuhan dari kejahatan. Tetapi, dengan penegasannya itu mereka bukan saja telah menyekutukan Tuhan dengan wujud lain sebagai pembuat kejahatan, bahkan telah mereduksi kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas, sebagai pencipta kebaikan semata. Pandangan ini di antaranya tercermin pada diri Leibniz yang berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan sesuatu yang secara logis tidak mungkin. Walaupun, Leibniz segera memberi catatan bahwa fakta ini sama sekali tidak mengandung pengertian membatasi kemahakuasaan Tuhan.
Dalam hal memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, Muthahhari menggunakan pendekatan Mu’tazilah dan kaum filsosof Muslim seperti Ibnu Sina dan Mulla Shadra. Dia mengatakan bahwa ketika Islam memandang alam, maka ia memandangnya sebagai terbagi menjadi dua, yakni kebaikan dan kejahatan. Tetapi, dalam kerangka pemahaman yang lebih luas alam ini dipandang sebagai terbebas dari kejahatan. Semua yang ada adalah baik, karena sistem yang melatarinya adalah sistem yang terbaik.
Dari perspektif dalil ontologis Ibnu Sina, pandangan bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya esensinya adalah kebaikan merupakan suatu keniscayaan dari wujud Tuhan sebagai Wajib al-Wujud bi Dzatihi (tidak bisa tidak, Tuhan mesti ada karena dzat-Nya sendiri). Jika wujud Tuhan merupakan wujud yang niscaya, maka kemahabaikan dan kemahaadilan-Nya merupakan sifat yang niscaya pula, bukan suatu kemungkinan. Sebaliknya, segala yang ada selain Tuhan dari segi esensinya adalah mumkin al-wujud (boleh ada dan tidak ada). Artinya, kebaikan dan kajahatan yang ada di dunia ini merupakan sesuatu yang mungkin. Mereka menjadi ada karena memperoleh limpahan wujud dari Wajib al-Wujud. Tetapi, karena Tuhan itu Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna, serta mustahil bersifat sebaliknya, maka segala yang melimpah dari-Nya pada esensinya adalah kebaikan. Dengan demikian, kejahatan yang ada di dunia ini adalah non-eksistensial dan relatif, karena secara fundamental esensinya adalah kebaikan.
Berangkat dari pemikiran filosofis tersebut dapat dikatakan bahwa pernyataan “kejahatan di dunia itu eksistensial dan non-eksistensial” adalah sama-sama mengandung kebenaran. Kejahatan dikatakan non-eksistensial tidak dengan sendirinya berarti bahwa kejahatan yang ada di masyarakat tidak ada wujudnya, karena hal itu bertentangan dengan kemestian. Kenyataannya di masyarakat benar-benar disaksikan adanya kebutaan, ketulian, kemiskinan, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kebodohan, kelemahan, kematian, gempa bumi, dan sekaligus semua itu tidak dapat diingkari sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal ini menarik untuk mencermati pernyataan Muthahhari, bahwa:
“Kebaikan dan kejahatan di alam ini bukanlah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain, sebagaimana berbedanya benda-benda mati dari tumbuh-tumbuhan, atau tumbuh-tumbuhan dari binatang, yang masing-masing memiliki barisan tertentu. Kita akan melakukan kekeliruan apabila membayangkan bahwa kejahatan memiliki barisan tertentu yang esensinya bersifat “jahat sejati” tanpa sedikit pun kebaikan di dalamnya, dan bahwa kebaikan memiliki barisan tertentu yang berbeda dan esensinya bersifat “baik sejati” tanpa sedikit pun kejahatan di dalamnya. Yang benar adalah bahwa kebaikan dan kejahatan merupakan dua hal yang menyatu tanpa bisa dipisah-pisahkan. Ketika di suatu bagian alam ada kejahatan, di situ pasti ada kebaikan, dan di mana saja ada kebaikan, di situ pasti ada kejahatan. Kebaikan dan kejahatan begitu menyatu dan bersenyawa di alam ini, bukan senyawa kimiawi, melainkan senyawa yang lebih mendalam dan lebih halus, senyawa antara eksistensi dan non-eksistensi (tarkib al-wujud wa al-`adam).

Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditegaskan kembali di sini bahwa dualisme wujud, yakni kejahatan dan kebaikan, pada dataran fenomenalnya memang ada, tetapi pada essensinya hanya ada kebaikan. Pandangan ini merupakan konskuensi dari kenyataan bahwa Tuhan sebagai Wajib al-Wujud adalah Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna, sehingga apa pun yang melimpah dari-Nya mesti mengandung esensi kebaikan. Dalam hal ini Muthahhari menegaskan bahwa pada dataran fenomenal tidak ada “kejahatan sejati” maupun “kebaikan sejati”, sedang pada dataran noumenal hanya ada satu esensi, yakni kebaikan, karena substansi kejahatan benar-benar merupakan ketiadaan murni.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah di alam maujud (dunia) sebenarnya tidak ada dualisme, sehingga tidak mengharuskan adanya dua sumber wujud dan nilai. Pandangan ini, di dalam Islam, sejalan dengan ajaran dasar tawhid, bahwa semua yang ada ini berasal dari Satu dan akan kembali kepada Yang Satu (inna lillahi wa inna ilaihi raji`un). Wallahu a’lam bi al-shawab

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote