Kamis, 04 Juli 2013

Akhlak Terhadap Diri Sendiri: Bentuk Implementasi Sikap Amanah dan Tawaddu

A. Mukaddimah
     Sebelum berakhlak dengan orang lain, seorang mu’min harus dapat mencerminkan akhlaqul karimah terhadap dirinya sendiri. Sebab seorang mu’min adalah pemimpin bagi dirinya sendiri sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain. Oleh karenanya, ia akan berakhak dengan baik terhadap dirinya sendiri. Berakhlak terhadap dirinya sendiri adalah bagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menunaikan hak-hak dirinya, tidak mendzaliminya, dan berbuat adil terhadapnya. Secara umum akhlak terhadap diri sendiri terbagi menjadi tiga bagian :
  1. Akhlak terhadap fisiknya.
  2. Akhlak terhadap akalnya.
  3. Akhlak terhadap hati/ ruhiyahnya.
     Sebuah ungkapan hikmah mengatakan, bahwa siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Rabnya. Dan pengenalan terhadap diri, diimplementasikan dengan berakhlak terhadap dirinya sendiri.

B. Pengertian Amanah dan Tawaddu’
     Sebelum melangkah pada pembahasan yang akan menggali lebih dalam mengenai sikap amanah dan tawaddu, maka alangkah baiknya penulis menjabarkan pengertian dari sikap amanah dan tawaddu’ untuk meletakkan batasan-batasan pembahasan yang akan diuraikan dalam makalah ini. pengertian Amanah secara etimologi berarti “dapat dipercaya” atau dapat diartikan pula sebagai “bertanggung jawab”. Sedangkan menurut istilah amanah berarti bertanggung jawab terhadap urusan yang diberikan kepercayaan kepadanya untuk diembangnya dengan penuh kesadaran karna Allah Ta ‘Ala. Sedangkan Tawadu’ secara etimologi berarti “rendah hati”, sedangkan menurut istilah dapat diartikan sebagai sebuah sikap merendah yang dilandasi dengan kesadaran dengan semata-mata mengharapkan ridho dari Allah SWT, serta menjauhkan diri dari sifat sombong dan takabur. Allah SWT dan Al-quranul Kariim berfirman yang artinya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.””(Q.S. Al Isra/17:24)

Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.

C. Amanah dan Tawaddu’ bagi seorang Mu’min dalam kehidupan.
     Sikap Amanah dan Tawaddu’ haruslah dimiliki oleh setiap umat muslim. Selain sikap tersebut merupakan perintah yg bersifat absolut, namun juga bahwa sesungguhnya kedua hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis yang akan dijalani oleh setiap manusia. Konsekuensi logis yang dimaksud di sini adalah
bahwa dengan sikap amanah dan tawaddu’ seseorang akan dapat menghadapi kenyataan hidup dengan lebih progressif dan aktif, sehingga tidak ada potensi yang sia-sia, melainkan akan diperlakukannya sesuai dengan kodratnya dengan sikap Amanah. Demikian pula dengan sikap rendah diri merupakan sebuah jalan menuju ketentraman ruhaniyah yang merupakan tujuan utama dari setiap jiwa manusia. Kebutuhan jasmaniyah bukanlah satu-satunya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi sehingga manusia harus memaksimalkan segala upayanya untuk mendapatkan kenikmatan jasmani dan mencukupi kebutuhannya, namun lebih dari itu, manusia memiliki potensi jiwa yang senantiasa memiliki kebutuhan untuk mencapai kedamaian dan ketentraman dalam dirinya. Seseorang rela membayar mahal apa saja demi memenuhi kebutuhan ruhaniyah, bagi kalangan muslim misalnya, mengorbankan harta mereka untuk menunaikan ibadah haji, menyembelih hewan kurban, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat modern misalnya berkembangnya gaya hidup hedonistik dan materialistik yang tiada lain untuk mencari kenikmatan dan kepuasan hidup, dengan paradigma meterialismenya tatanan budaya modern sehingga kepuasan diukurnya semata-mata dari sudut pandang meteri, sehingga semakin bertambah tahun di era modern ini semakin bertambah pula jumlah manusia yang memiliki mobil mewah, rumah mewah. Cara pandang seperti ini tentu terbangun dari sebuah fenomena budaya yang massif melalui tekhnologi mutakhir yang memungkinkan mengalirnya arus informasi secara pesat dan kilat. Sikap hidup rendah diri merupakan sebuah formulasi hidup yang harus terbangun dengan kesadaran dan semangat untuk melaksanakannya sehingga kadar keikhlasan dan kesadaran dapat sejalan dengan demikian ikhtiar yang dilakukan dapat dengan mudah dilakukan.

     Sikap tawaddu’ dan amanah sebagai sebuah perintah dari Allah SWT. Dengan dilandasi keyakinan yang kokoh, umat Islam harus senantiasa menjadikan al-qur’an dan Hadist sebagai tuntunan hidup demi mencapai kejayaan di dunia dan keselamatan di akhhirat kelak.

Artinya: Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,

     Konsekuensi akhirati dari setiap amalan yang lakukan oleh umat Islam dengan mendapat pahala dari sisi Allah SWT, senantiasa seiring dengan konsekuensi duniawi yang akan diraih seseorang, dikarenakan oleh perintah-perintah tersebut senantiasa berwujud perbuatan yang harus dilakukan di alam dunia fana ini.

     Seseorang yang amanah seperti yang dibahasakan di mukaddimah bahwa sebelum ia mengemban amanah yang berhubungan dengan manusia lain, pertama-tama ia harus bisa mencerminkan sikap amanah kepada dirinya sendiri, contoh kecilnya misalnya bersikap amanah terhadap anugerah fisik yang dititipkan oleh Allah kepadanya dengan cara selalu menjaganya dari hal-hal yang merugikan. Mencukupi kebutuhannya dengan makanan yang dihalalkan allah SWT dan rasulnya sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan al-Hadist, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-qur’an sebagai berikut:

Artinya: “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah kalian berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Qs Al-A’raf (7): 31)

     Seorang mu’min haruslah terbangun  dengan sebuah kesadaran bahwa ketaan kepada Allah dan rasulnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Maksud kesadaran dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan yang datangnya dari Allah dan Rasulnya tidaklah semata-mata diartikan sebagai sebuah ketaatan taklid buta, akan tetapi melalui sebuah pemahaman yang mendalam dengan mencoba moengkontekskan sebuah wakyu ke dalam ranah kehidupan, kemudian dianalisis dari berbagai sudut pandang. Salah satu contohnya yaitu larangan Allah meminum khamar, adalah karena dapat memabukkan, banyak aspek yang akan berhubungan dengan perbuatan mabuk, yakni dapat memancing pertikaian dan perbuatan maksiat lainnya yang dapat merugikan pihak lain, kemudian dari sudut pandang teori kesehatan yang mana seseorang yang mabuk adalah dalam keadaan kurang sadar dan sulit untuk mengontrol tubuhnya sehingga jalannya pun sempoyongan, dikarenakan oleh proses kimiawi yang terjadi di dalam tubuh yang menihilkan proses kerja saraf. Jika modus ini terjadi secara berulang kali akan berakibat fatar terhadap kesehatan, termasuk salahsatunya penyakit lever.

“Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya. Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk dirinya.” (HR. Ahmad & Turmudzi)

     Diantara akhlak terhadap diri sendiri adalah tidak melakukan satu hal atau kebiasaan yang dapat merusak diri sendiri:

“Dan janganlah kamu membunuh (merusak) dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)

Hadist lain yang membahas tentang cara manusia memperlakukan dirinya:

“Dari Abu Hurairah ra, ‘Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan dengan mu’min yang lemah.” (HR. Muslim)

     Ranah apresiasi sikap amanah seseoarang tidaklah sekedar pada aspek fisik saja, akan tetapi meliputi aspek akal dan emosional pula, dan dapat pula dalam aspek spiritual, dengan dasar keyakinan akan adanya tuhan sebagai tempat bergantung yang mana keternatasan diri tak mampu menanggulangi kebutuhan diri yang dapat dikatakan tidak ada batasnya, olehnya dibutuhkanlah oleh diri manusia itu sang pemberi rahmat yang maha segala-galanya, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kedudukan manusia sebagai seorang hamba atau abdi yang senantiasa membutuhkan sesembahan tempat meminta pertolongan dan perlindungan merupakan sebuah kebutuhan spiritual.

Firman Allah dalam Al Qur’anul Kariim:

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain  Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

     Termasuk akhlak muslim terhadap akalnya adalah menyampaikan atau mengajarkan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan ilmunya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. Annahl/ 16 : 43)

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

     Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa diantara tuntutan dan sekaligus akhlak terhadap akalnya adalah merealisasikan ilmunya dalam “alam nyata.” Karena akan berdosa seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya. Allah SWT berfirman :

“ Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. As-Sh of : 2-3)

D. Kesimpulan dan Saran
     Dari uraian materi di atas secara umum penulis mengambil kesimpulan tentang akhlak manusia terhadap diri sendiri meliputi perlakuan manusia terhadap kebutuhan fisik, rohani, dan akalnya. Ketiga kebutuhan ini tidaklah bisa ada yang diabaikan antara satu sama lain. Ketiga kebutuhan manusia ini haruslah sejalan dan beriringan, sehingga tidak terjadi instabilitas internal diri manusia. Untuk menutup makalah ini penulis hendak mencantumkan firman Allah SWT dan Al Qur’anul kariim surat Al Ashr ayat 1 – 3 yang artinya:

“ Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian yang nyata, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote