Selasa, 17 Juni 2014

Sirkulasi Elite

Oleh Mohd. Sabri AR

G. Mosca, The Rulling Class (1939) dan V. Pareto, Mind and Society (1935), dapat dipandang sebagai figur-figur awal yang mengidentifikasi fenomena kehadiran elit dalam sebuah masyarakat. Dalam rumusan kedua ilmuan tersebut, elit dibaca sebagai minoritas terbatas yang melaksanakan kekuasaan dan pengaruhnya karena keahlian mereka “mengelola” sejumlah sumberdaya yang menyebar dalam masyarakat. Filsuf Johan Galtung mendaku, akumulasi suberdaya tersebut meliputi: kekuasaan ideologi, renumeratif, dan punitif.

Realisme politik menunjukkan, elit yang mampu menguasai tiga jenis sumberdaya ini akan dapat melaksanakan misinya dengan baik. Sebaliknya, massa yang secara sadar “mengakui” kualifikasi elit akan memberikan legitimasi kepada kepemimpinan elit tersebut. Hal tersebut mengandaikan, setiap aspiran di Indonesia hendaknya membekali diri dengan tiga sumberdaya ini: ideologi, ekonomi, dan kekuatan. Berdasar pengalaman empirik, kekurangan salah satu sumberdaya akan berakibat fatal bagi legitimasi kepemimpinan elit bersangkutan.

Membaca sejarah elit politik di Indonesia, menarik mempertimbangkan “teori siklus” yang dikenalkan sejarahwan Belanda, Prof. Booke (1982): “Dalam siklus duapuluh tahunan, Indonesia selalu memperlihatkan dentuman besar jika bukannya revolusi sosial”. Hal ini bermakna—jika setiap siklus satu generasi—sebuah

bangsa selalu didorong oleh misi zaman (zeit geist) yang digerakkan para elitnya. Itu sebab, sirkulasi elit suatu bangsa, dapat “terdeteksi” melalui iklim yang diciptakan elit kepemimpinan satu generasi sebelumnya.

Dari perspektif ini kemudian diketahui: sirkulasi elit di Indonesia setidaknya telah mengalami tiga gelombang besar. Pertama, gelombang “intelektual-pemikir”, tercermin pada generasi para Founding Fathers: Soekarno, Moh. Hatta, Syahrir, Agus Salim, M. Natsir, Soepomo, Tan Malaka, dan seterusnya. Mereka, sosok negarawan-pemikir yang tercipta oleh iklim yang dibangun para aktivis-gerakan pemuda-mahasiwa generasi 1928. Kedua, gelombang “militer-ideologis” yang diwakili antara lain, Soeharto, A. Haris Nasution, Ahmad Yani, Sumitro, Ali Murtopo, DN Aidit, yang lahir dari iklim kenegaraan yang “rawan” secara politik-keamanan di bawah kepemimpinan Soekarno. Karena itu, figur-figur yang melingkar di sekitar kekuasaan Soekarno sebagian besarnya adalah militer dan politisi yang kelak—ketika rezim Orde Lama rontok—mereka menjadi elit.

Ketiga, gelombang “teknokrat-pengusaha” yang diciptakan iklimnya oleh kepemimpinan Soeharto di antaranya Emil Salim, Moh. Sadli, Mar’ie Muhammad, Jusuf Kalla, Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, Jusuf Wanandi. Mereka beredar pada masa kekuasan Soeharto, yang kelak menjadi elite hingga tumbangnya rezim Orde Baru.

Ketika reformasi meledak pada Mei 1998, tak sedikit asa lahir untuk Indonesia Baru menyusul sirkulasi elit yang lebih baik. Tapi dentuman itu masih samar, dan sirkulasi elit “gelombang keempat” masih terselubung misteri. Apakah karena misi zaman itu dibajak oleh “bandit-bandit” demokrasi, menyusul kejahatan politik uang yang berbau pesing? Apakah Pilcaleg dan Pilpres 2014 akan menjawab kegelisahan itu? Entah. Kita mungkin tengah menunggu godot.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote