Senin, 25 Mei 2015

POSMOLITHICUM


Kehidupan manusia setidaknya sejak 50.000 tahun SM, pernah membentang empat zaman lithos (batu) yakni; palaeolithicum, mesolithicum, neolithicum, dan megalithicum dimana hidup-mati manusia diyakini sangat tergantung dengan alam. Keempat era lithos ini tentunya diklasifikasi dan diperiodesasi berdasarkan fungsi, kreasi dan kesadaran kosmik yang dikembangkan manusia saat itu dalam ketergantungannya terhadap alam sekitar.

Yang menonjol dalam megalithicum adalah manusia telah memfungsikan batu tidak lagi sekedar peralatan memenuhi kebutuhan konsumsi. Mereka telah menggunakan batu berukuran besar dalam rupa dan simbol tertentu, untuk kepentingan spiritual. Manusia telah memiliki kesadaran kosmik dan teistik yang meski sederhana tetapi berpadu begitu tinggi. Mereka
membangun sarana religius atau pemujaan dari batu-batu sebagai tempat ruh para leluhur bersemayam. Paling utama mempercayai bahwa batu-batu itu memiliki kekuatan mistik, berpengaruh besar terhadap kehidupan. 

Carnac Stone, Menhir, Devils Marbels, Punden Berundak, Dolmen, Sarkofagus, Peti Kubur, Arca Batu, Waruga dan Pokekea, adalah situs-situs megalitichum yang masih nampak. Batu-batu tersebut oleh para ahli dipercaya sebagai sarana penyembahan terhadap leluhur serta memiliki kekuatan-kekuatan ghaib lainnya. Batu memiliki nilai sakral dalam kaitannya dengan peradaban manusia.

Tetapi itu megalithic yang di indonesia berlangsung kurang lebih sejak 2500-1500 tahun sebelum tarikh masehi. Kini, setelah tarikh masehi berjalan 2015 tahun, urusan kita dengan bebatuan nampak tetap awet, diantaranya batu mulia. Biasanya batu ini akrab dengan orang tertentu yang jiwanya condong pada soal-soal kesaktian, kekuatan magis, dan hal lain yang serupa. Misal saja “sandro” dan orang-orang yang diam-diam bangga dipuji sakti. Tentu saja dengan satu-dua ikat cincin batu melilit jari; batu mustika (kulau) atau batu mulia tertentu. Di sini, batu memiliki ruang spesial, keramat, sepi dan jauh dari tema perbincangan publik.

Lalu tiba-tiba, batu cincin, “meledak” menjadi perbincangan yang tidak bisa lagi disebut sekedar pengisi waktu lowong. Batu telah mewarnai space media, warung kopi, pasar, pantai wisata, kantor pemerintah dan yang pasti mewarnai batang jari-jemari utamanya para lelaki. Tidak main-main. Ada yang menggunakan hingga tiga batu; dua di kanan satu di kiri, belum termasuk koleksi yang tersimpan rapi dan aman. Di makassar, kerumunan peminat batu bisa memacetkan jalan. Bacan, pirus, safir, lavender, opal, zamrud, diamond, ruby, topaz, giok, serta puluhan jenis batu berderet untuk disebutkan dan membutuhkan kompotensi khusus untuk dapat mengenal karakter pembedanya masing-masing. Layaknya megalithicum, tidak sedikit orang indonesia meyakini bahwa batu-batu itu baik digunakan karena memiliki khasiat natural-magis yang dapat mempengaruhi secara positif hidup penggunanya, baik fisik, materil maupun spiritual; aura, kharisma, pesona, hoki, rejeki, karir dan lain-lain.

Lebih jauh, batu lalu berhasil menembus pasar “selera” indonesia, dari kota hingga ke kampung paling pojok. Pasar kecil di kampung saya terbilang pelosok yang buka dua kali sepekan, kini ikut dipadati oleh tidak kurang dari empat stand lesehan pedangang batu. Sejumlah rumah bahkan telah menyulap mesin pompa air menjadi mesin pemutar gurinda untuk membentuk batu, membeli stock serbuk intan untuk pengkilap, serta aneka bentuk pengikat batu. Di sini eksplorasi batu dilakukan. Dengan mengabaikan keyakinan terhadap kekuatan natural-magic, batu-batu lokal didesain sedemikian rupa mengandalkan motif dan warna di samping bentuk, ukuran dan struktur. Tentu saja batu lokal tidak seharga dengan sederet jenis batu yang lebih dulu tenar berkelas batu mulia, tetapi apresiasi terhadap batu lokal semakin luas.

Merebaknya selera masyarakat umum terhadap batu dapat ditafsir secara spekulatif. Pertama; semacam sisa-sisa nafas desakralisasi dan mungkin sekularisasi ―baik yang didesakkan oleh rasionalisme maupun monoteisme― terhadap apa yang diyakini sebelumnya atas kekuatan magis batu. Relasi manusia terhadap batu bertransformasi menjadi layaknya relasi tuan terhadap abdinya. Jika menyenangkan dipakai, harganya bisa melangit. Jika tidak, ya diabai tanpa harga sama sekali. Kedua; life style, sejumlah tokoh penting terekam menggunakan cincin batu, dan segera saja menjadi acuan. Ketiga; dominasi kelas batu dalam terminologi batu mulia mulai bergeser. Tendensi orang terhadap batu justru murni alasan estetika. Seseorang mungkin tidak peduli pada keutamaan magis sebuah batu cincin besar warisan sandro kharismatik dan tenar. Tetapi ia tetap saja secara sadar dan senang menggunakan batu cincin besar bergaya sandro.

Kegandrungan umum terhadap batu menjelang dua setengah abad tarikh masehi ini, bisa jadi tidak berlangsung lama. Pasalnya, ia muncul dalam era posmodernisme yang mencirikan diri dengan kecepatan perubahan. Sejatinya kita tidak sedang senang dengan apapun kecuali satu; perubahan super cepat. Jika dikaitkan dengan batu, mungkin boleh era ini disebut sebagai sub-era posmolithicum.

Banga Pinrang, 01 Februari 2015
Sumber: Hamdan eSA

0 komentar:

Posting Komentar

 

Get Money

no-minimum.com

Paid To Promote