Sebelum berakhlak dengan orang lain, seorang mu’min harus dapat
mencerminkan akhlaqul karimah terhadap dirinya sendiri. Sebab seorang
mu’min adalah pemimpin bagi dirinya sendiri sebelum menjadi pemimpin
bagi orang lain. Oleh karenanya, ia akan berakhak dengan baik terhadap
dirinya sendiri. Berakhlak terhadap dirinya sendiri adalah bagaimana ia
memperlakukan dirinya sendiri sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ia menunaikan hak-hak dirinya, tidak mendzaliminya, dan
berbuat adil terhadapnya. Secara umum akhlak terhadap diri sendiri
terbagi menjadi tiga bagian :
- Akhlak terhadap fisiknya.
- Akhlak terhadap akalnya.
- Akhlak terhadap hati/ ruhiyahnya.
Sebuah ungkapan hikmah mengatakan, bahwa siapa yang mengenal dirinya
maka ia akan mengenal Rabnya. Dan pengenalan terhadap diri,
diimplementasikan dengan berakhlak terhadap dirinya sendiri.
B. Pengertian Amanah dan Tawaddu’
Sebelum melangkah pada pembahasan yang akan menggali lebih dalam
mengenai sikap amanah dan tawaddu, maka alangkah baiknya penulis
menjabarkan pengertian dari sikap amanah dan tawaddu’ untuk meletakkan
batasan-batasan pembahasan yang akan diuraikan dalam makalah ini.
pengertian Amanah secara etimologi berarti “dapat dipercaya” atau dapat
diartikan pula sebagai “bertanggung jawab”. Sedangkan menurut istilah
amanah berarti bertanggung jawab terhadap urusan yang diberikan
kepercayaan kepadanya untuk diembangnya dengan penuh kesadaran karna
Allah Ta ‘Ala. Sedangkan Tawadu’ secara etimologi berarti “rendah hati”,
sedangkan menurut istilah dapat diartikan sebagai sebuah sikap merendah
yang dilandasi dengan kesadaran dengan semata-mata mengharapkan ridho
dari Allah SWT, serta menjauhkan diri dari sifat sombong dan takabur.
Allah SWT dan Al-quranul Kariim berfirman yang artinya:
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.””(Q.S. Al Isra/17:24)
Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
C. Amanah dan Tawaddu’ bagi seorang Mu’min dalam kehidupan.
Sikap Amanah dan Tawaddu’ haruslah dimiliki oleh setiap umat muslim.
Selain sikap tersebut merupakan perintah yg bersifat absolut, namun juga
bahwa sesungguhnya kedua hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi
logis yang akan dijalani oleh setiap manusia. Konsekuensi logis yang
dimaksud di sini adalah
bahwa dengan sikap amanah dan tawaddu’ seseorang
akan dapat menghadapi kenyataan hidup dengan lebih progressif dan
aktif, sehingga tidak ada potensi yang sia-sia, melainkan akan
diperlakukannya sesuai dengan kodratnya dengan sikap Amanah. Demikian
pula dengan sikap rendah diri merupakan sebuah jalan menuju ketentraman
ruhaniyah yang merupakan tujuan utama dari setiap jiwa manusia.
Kebutuhan jasmaniyah bukanlah satu-satunya kebutuhan manusia yang harus
dipenuhi sehingga manusia harus memaksimalkan segala upayanya untuk
mendapatkan kenikmatan jasmani dan mencukupi kebutuhannya, namun lebih
dari itu, manusia memiliki potensi jiwa yang senantiasa memiliki
kebutuhan untuk mencapai kedamaian dan ketentraman dalam dirinya.
Seseorang rela membayar mahal apa saja demi memenuhi kebutuhan
ruhaniyah, bagi kalangan muslim misalnya, mengorbankan harta mereka
untuk menunaikan ibadah haji, menyembelih hewan kurban, dan lain
sebagainya. Bagi masyarakat modern misalnya berkembangnya gaya hidup
hedonistik dan materialistik yang tiada lain untuk mencari kenikmatan
dan kepuasan hidup, dengan paradigma meterialismenya tatanan budaya
modern sehingga kepuasan diukurnya semata-mata dari sudut pandang
meteri, sehingga semakin bertambah tahun di era modern ini semakin
bertambah pula jumlah manusia yang memiliki mobil mewah, rumah mewah.
Cara pandang seperti ini tentu terbangun dari sebuah fenomena budaya
yang massif melalui tekhnologi mutakhir yang memungkinkan mengalirnya
arus informasi secara pesat dan kilat. Sikap hidup rendah diri merupakan
sebuah formulasi hidup yang harus terbangun dengan kesadaran dan
semangat untuk melaksanakannya sehingga kadar keikhlasan dan kesadaran
dapat sejalan dengan demikian ikhtiar yang dilakukan dapat dengan mudah
dilakukan.
Sikap tawaddu’ dan amanah sebagai sebuah perintah dari Allah SWT.
Dengan dilandasi keyakinan yang kokoh, umat Islam harus senantiasa
menjadikan al-qur’an dan Hadist sebagai tuntunan hidup demi mencapai
kejayaan di dunia dan keselamatan di akhhirat kelak.
Artinya: Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
Konsekuensi akhirati dari setiap amalan yang lakukan oleh umat Islam
dengan mendapat pahala dari sisi Allah SWT, senantiasa seiring dengan
konsekuensi duniawi yang akan diraih seseorang, dikarenakan oleh
perintah-perintah tersebut senantiasa berwujud perbuatan yang harus
dilakukan di alam dunia fana ini.
Seseorang yang amanah seperti yang dibahasakan di mukaddimah bahwa
sebelum ia mengemban amanah yang berhubungan dengan manusia lain,
pertama-tama ia harus bisa mencerminkan sikap amanah kepada dirinya
sendiri, contoh kecilnya misalnya bersikap amanah terhadap anugerah
fisik yang dititipkan oleh Allah kepadanya dengan cara selalu menjaganya
dari hal-hal yang merugikan. Mencukupi kebutuhannya dengan makanan yang
dihalalkan allah SWT dan rasulnya sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan
al-Hadist, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-qur’an sebagai berikut:
Artinya: “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah kalian
berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan” (Qs Al-A’raf (7): 31)
Seorang mu’min haruslah terbangun dengan sebuah kesadaran bahwa
ketaan kepada Allah dan rasulnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Maksud
kesadaran dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan yang datangnya dari
Allah dan Rasulnya tidaklah semata-mata diartikan sebagai sebuah
ketaatan taklid buta, akan tetapi melalui sebuah pemahaman yang mendalam
dengan mencoba moengkontekskan sebuah wakyu ke dalam ranah kehidupan,
kemudian dianalisis dari berbagai sudut pandang. Salah satu contohnya
yaitu larangan Allah meminum khamar, adalah karena dapat memabukkan,
banyak aspek yang akan berhubungan dengan perbuatan mabuk, yakni dapat
memancing pertikaian dan perbuatan maksiat lainnya yang dapat merugikan
pihak lain, kemudian dari sudut pandang teori kesehatan yang mana
seseorang yang mabuk adalah dalam keadaan kurang sadar dan sulit untuk
mengontrol tubuhnya sehingga jalannya pun sempoyongan, dikarenakan oleh
proses kimiawi yang terjadi di dalam tubuh yang menihilkan proses kerja
saraf. Jika modus ini terjadi secara berulang kali akan berakibat fatar
terhadap kesehatan, termasuk salahsatunya penyakit lever.
“Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya.
Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga
untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk
dirinya.” (HR. Ahmad & Turmudzi)
Diantara akhlak terhadap diri sendiri adalah tidak melakukan satu hal atau kebiasaan yang dapat merusak diri sendiri:
“Dan janganlah kamu membunuh (merusak) dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)
Hadist lain yang membahas tentang cara manusia memperlakukan dirinya:
“Dari Abu Hurairah ra, ‘Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai oleh Allah dibandingkan dengan mu’min yang lemah.” (HR.
Muslim)
Ranah apresiasi sikap amanah seseoarang tidaklah sekedar pada aspek
fisik saja, akan tetapi meliputi aspek akal dan emosional pula, dan
dapat pula dalam aspek spiritual, dengan dasar keyakinan akan adanya
tuhan sebagai tempat bergantung yang mana keternatasan diri tak mampu
menanggulangi kebutuhan diri yang dapat dikatakan tidak ada batasnya,
olehnya dibutuhkanlah oleh diri manusia itu sang pemberi rahmat yang
maha segala-galanya, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
kedudukan manusia sebagai seorang hamba atau abdi yang senantiasa
membutuhkan sesembahan tempat meminta pertolongan dan perlindungan
merupakan sebuah kebutuhan spiritual.
Firman Allah dalam Al Qur’anul Kariim:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.”
Termasuk akhlak muslim terhadap akalnya adalah menyampaikan atau
mengajarkan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan ilmunya.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. Annahl/ 16 : 43)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa diantara tuntutan dan sekaligus
akhlak terhadap akalnya adalah merealisasikan ilmunya dalam “alam
nyata.” Karena akan berdosa seorang yang memiliki ilmu namun tidak
mengamalkannya. Allah SWT berfirman :
“ Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. As-Sh of : 2-3)
D. Kesimpulan dan Saran
Dari uraian materi di atas secara umum penulis mengambil kesimpulan
tentang akhlak manusia terhadap diri sendiri meliputi perlakuan manusia
terhadap kebutuhan fisik, rohani, dan akalnya. Ketiga kebutuhan ini
tidaklah bisa ada yang diabaikan antara satu sama lain. Ketiga kebutuhan
manusia ini haruslah sejalan dan beriringan, sehingga tidak terjadi
instabilitas internal diri manusia. Untuk menutup makalah ini penulis
hendak mencantumkan firman Allah SWT dan Al Qur’anul kariim surat Al
Ashr ayat 1 – 3 yang artinya:
“ Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian yang
nyata, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.”
0 komentar:
Posting Komentar