Mungkin artikel ini adalah salah
satu kisah nyata tentang potret kehidupan ekonomi di negara kita ini, Sobat kisah ini saya kutip dari sebuah halaman di Facebook dan memang kisah
ini nyata adanya.
Bila sobat Blog yang kebetulan ada di bandung sobat bisa mampir ke Daerah Kampus
ITB ( JL. Ganesha ) tiap hari jumat bapak yang ada di dalam tokoh ini ada.
Setiap menuju
ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua
yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam
plastik. Sepintas di lihat, barang jualannya itu terasa "aneh" di
antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha
setiap hari Jumat.
Pedagang di pasar kaget umumnya
berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan
barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia "nyempil" sendiri
menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba
elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional
sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak
mengikuti
perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan
dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau
membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik
untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah
tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat
di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah
berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak
terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu
melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya
menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusan
plastik itu. "Seribu", jawabnya dengan suara lirih.
Astaga, harga sebungkus amplop yang
isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup
untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang
seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu
sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar
harga yang sangat murah itu. "Saya beli ya pak, sepuluh bungkus",
kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena
saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus
amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop.
Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia
menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak
mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima
buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop
di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat
senilai Rp 7.500. "Bapak cuma ambil sedikit", lirihnya. Jadi, dia
hanya mengambil keuntungan Rp 250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10
lembar itu.
Saya jadi terharu mendengar jawaban
jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal "menipu" harga dengan
menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya
mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus
amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir
jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman
sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua
puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp 10.000
untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya
selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si
bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima
kasih dengan suara hampir menangis.
Saya segera bergegas pergi
meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil
berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini :
"bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu
tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah
alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak
membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko
yang
nyaman dan lengkap..".
Sungguh sabar
hatimu pak...Allah swt akan selalu menyertaimu. Perjuangan demi sesuap nasi. Ya
Allah...tambahkan rezeki yang berlimpah sangat banyak kepada kakek
ini...amiiiin
Sumber; Group Facebook
0 komentar:
Posting Komentar