Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah kewajiban melaksanakan keadilan. Keadilan merupakan suatu prinsip yang ditekankan Al-Quran dan hadis Nabi SAW. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S. Al-Maidah [05]:08).
Kenapa kita harus membicarakan masalah keadilan? Keadilan bukan hanya suatu prinsip yang harus dilaksanakan kaum
Muslim, tapi juga merupakan kewajiban kita sebagai warga negara
Indonesia. Salah satu prinsip dalam ideologi dan falsafah bangsa, Sila
Kelima Pancasila, adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Kita tahu bahwa persoalan keadilan sosial ini masih merupakan suatu
problem besar yang belum bisa dipecahkan, dan mungkin tidak akan pernah
bisa dipecahkan. Namun demikian, masalah terkait keadilan/ketidakadilan
ini akan selalu ada. Kita tidak boleh berdiam diri. Kita harus terus
memperjuangkan keadilan sosial dengan kapasitas kita masing-masing.
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:
“Hendaklah kamu berhati-hati kepada kezaliman. Sesungguhnya kezaliman
itu akan menjadi kegelapan pada Hari Kiamat. Dan jauhilah kekikiran.
Sesungguhnya kekikiran ini telah merusak/mencelakakan umat sebelum
kamu,” (H.R. Muslim).
Kezaliman adalah lawan dari keadilan. Dan menariknya, dalam hadis itu
Rasulullah menghubungkannya dengan salah satu sifat atau perbuatan yang
dilarang lainnya yaitu kekikiran.
Kewajiban melaksanakan keadilan sosial ini merupakan suatu prinsip
yang menyeluruh atau universal. Prinsip keadilan sosial dalam dunia
modern adalah salah satu tiang yang menjadi perhatian seluruh
pemerintahan dan negara-negara modern. Kita dapat saksikan di berbagai
negara non-Muslim yang modern, keadilan sosial benar-benar diterapkan
dan ditegakkan ketimbang di negara-negara Muslim.
Negara-negara modern itu, walaupun di antara mereka ada yang pernah
menjajah kita, atau melakukan suatu kebijakan yang merugikan bangsa
lain, tapi di negaranya sendiri mereka melaksanakan prinsip keadilan
sosial
ini secara konsekuen. Karena itu kita bisa lihat di negara-negara
itu terjadi kestabilan sosial. Persoalan kaya dan miskin tidak menjadi
isu yang besar.
Berbeda halnya dengan negara-negara Muslim, termasuk negara-negara
yang kaya akan minyak, masalah keadilan sosial ini masih menjadi suatu
persoalan besar. Hal ini berpotensi menghancurkan masyarakat itu sendiri
dalam jangka yang panjang.
Kekayaan sebuah bangsa yang sangat melimpah memang membuat semua
warga negaranya mendapat kecukupan dalam hidupnya. Ini untuk sementara
waktu bisa meredam kemarahan sebagian besar rakyatnya yang merasa
diperlakukan tidak adil. Namun, kekayaan sebuah bangsa tidak akan
berlangsung selamanya. Ketika kekayaan itu habis timbullah kerusuhan
atau kekacauan sosial-politik yang menghancurkan negara itu.
Di Indonesia, misalnya, kita bisa menyaksikan ketidakadilan itu
secara sangat jelas dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita berada
di jalanan atau saat terjadi banjir seperti yang terjadi beberapa saat
lalu di Jakarta, kita dapat lihat ketidakadilan itu dengan jelas.
Bagaimana sebagian besar masyarakat kita masih belum mempunyai taraf
hidup yang layak dibandingkan dengan mereka yang sudah hidup
berkecukupan.
Banyak problem dan pekerjaan rumah yang menjadi tanggungjawab
pemerintah tak diselesaikan dengan baik dan benar. Rakyat juga akhirnya
yang menderita dan menjadi korban karena adanya ketidakadilan dan
ketidakjujuran mereka dalam menjalankan amanah untuk menyejahterakan
masyarakat. Masing-masing kita harus berupaya, baik rakyat biasa atau
tokoh/pemimpin masyarakat, untuk senantiasa mengingatkan pemerintah.
Sebagai suatu lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakan
keadilan itu pemerintah harus selalu memperhatikan berbagai kebijakan
dan tindakannya agar mempertimbangkan persoalan keadilan sosial ini.
Keadilan sosial dalam konsep modern dirumuskan dalam satu kalimat:
“Setiap orang tidak boleh memperoleh kurang dan lebih daripada apa yang
menjadi haknya.”
Di Indonesia, kita dapat lihat bahwa ada sebagian kecil masyarakat
kita yang mempunyai hak-hak atau keistimewaan-keistimewaan tertentu
lebih daripada yang lain. Dan sebagian besar lainnya malah tidak
mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Bangsa kita ini sebenarnya mempunyai kekayaan yang sangat melimpah.
Persoalannya adalah bagaimana kekayaan itu dapat dinikmati masyarakat
secara merata dan lebih adil. Ini masih menjadi persoalan besar negeri
ini.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, masyarakat
Indonesia harusnya dapat menerapkan prinsip keadilan dalam kehidupannya
sehari-hari. Seorang Muslim tidak boleh memperlakukan orang lain yang
beda kelompok, tidak seagama, dengan perbuatan-perbuatan yang zalim dan
tidak adil. Dalam Al-Quran, Allah berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil,” (Q.S. Al-Mumtahanah [60]:08).
Kita tak boleh berbuat tidak adil hanya karena suatu kesalahan
dilakukan orang yang satu kelompok atau seagama dengan kita. Sebaliknya,
juga kita harus bisa mengapresiasi, menghormati, bekerjasama dengan
orang-orang yang beda kelompok atau tidak seagama dengan kita ketika
mereka berbuat adil.
Keadilan merupakan suatu prinsip yang bisa menyatukan berbagai
kelompok maupun agama di dalam masyarakat. Rasulullah mengingatkan kita
akan pentingnya solidaritas sosial dan membangun kesetiakawanan di
antara kita semua untuk mendapatkan hak dan keadilan.
Ibn Taimiyyah, seorang ulama terkemuka, mengatakan: “Sebuah
masyarakat yang adil akan ada seterusnya walaupun masyarakat itu adalah
masyarakat yang kafir, tetapi sebuah masyarakat Muslim yang tidak adil,
maka masyarakat itu pada suatu saat akan menghadapi kehancuran.” ***
Sumber: Khutbah Jumat di Yayasan Paramadina (15 Februari 2013). Khatib: Dr. Ahmad Rifa’i Hasan.
0 komentar:
Posting Komentar