by Jessica Siscawati (Notes) on Wednesday, June 13, 2012 at 9:53pm
Dialog seorang profesor dengan muridnya mengenai teodisi atau upaya
untuk merekonsiliasi keberadaan Tuhan dengan kejahatan telah menyebar luas di
dunia maya. Seorang murid dikisahkan berhasil membantah pernyataan professor
yang digambarkan "sombong." Biasanya di akhir kata ditambahkan
embel-embel " murid itu adalah Albert Einstein", yang jelas salah
karena Einstein tidak percaya Tuhan personal, namun kepada Tuhannya Baruch
Spinoza, yaitu keserasian hukum alam. Selain mencatut nama Einstein, dialog ini
juga memiliki kesalahan logika yang fatal. Berikut adalah perbaikan untuk
dialog tersebut yang diterjemahkan dari http://www.rationalresponders.com/debunking_an_urban_legend_evil_is_a_lack_of_something dengan sedikit
adaptasi. Sementara itu, kalau mau lihat kisah aslinya yang ngawur bisa dilihat
di http://novrya.blogspot.nl/2011/01/profesor-yang-tidak-punya-otak.html
Alkisah, seorang profesor filsafat menantang muridnya: "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Alkisah, seorang profesor filsafat menantang muridnya: "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, "Nah, ini ada teka-teki logika untuk
kalian. Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.
Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita
menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah
kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor
tersebut.
Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor,
boleh saya bertanya sesuatu?”
"Tentu saja," jawab si professor, “itulah inti dari
diskursus filsafat.”
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu
ada?”
"Tentu saja," ungkap si professor. Raut muka si professor
tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang
kali.
Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu
-460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan
tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk
mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Sang professor pun menjawab dengan tegas: "Kamu ingat bab mengenai
kesesatan semantik dalam bukumu?"
Si murid tampak bingung.
"Biar saya ulangi secara singkat. "Panas" dan
"dingin" adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya
merupakan contoh "kualitas sekunder". Kualitas sekunder merujuk
kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus
ini pergerakan partikel atomik. Istilah "dingin" dan
"panas" merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan
variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya
ada adalah suhu... istilah "panas" dan "dingin" hanyalah
istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai
suhu."
"Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa
"dingin" itu tidak ada, atau bahwa "dingin" ada tanpa
status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa
"dingin" adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif
tersebut, dan suhu yang kita sebut "dingin" akan tetap ada.
Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena
tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut."
Murid: (agak shock) "Uh... oke... em, apakah gelap itu ada?”
Professor: "Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama,
hanya kualitas sekundernya yang diganti."
Murid: "Jadi menurut professor kegelapan itu ada?"
Professor: "Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi
kesesatan yang sama. "Kegelapan" adalah kualitas sekunder."
Murid: "Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap
adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
“Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa
warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak
bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa
intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk
mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan
untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar
cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang”
hanyalah penilaian subjektif kita... yang sekali lagi terkait dengan interaksi
antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi,
sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika
manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing
menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai
“gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya
gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”
Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya
Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan,
mungkin Anda akan paham.”
Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor
berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian,
adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai
sesuatu yang dapat kita ukur.”
Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda
menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak
terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika
Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan
masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda
tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak
ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”
Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan,
“Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini
memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang
melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”
Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan
pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba
mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”
Murid: “Begitulah.”
“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada
walaupun tak pernah kita lihat?”
“Benar!”
Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu
mengenai kesesatan false presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.”
Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah
saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya
menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung
merupakan kesalahan kategoris.”
“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi
bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan
langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk
memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat.
Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga
dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”
“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan
bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu
mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari
ketidaktahuan.”
“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah
contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran
terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme
menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap
yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa
menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan
begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad
ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan
itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu
manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung
meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah
memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme,
dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan
yang mengisi gap pun terus menciut.”
“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup
jelas?”
Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em...
kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang
berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian
tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah
kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”
Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan
kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian”
dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan
fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian
tidak menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas
itu ada?”
Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun
tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau
perlu saya ulangi lagi?”
Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya
berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah
ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah
kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”
Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu
malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda?
Tunggu... dia tidak mati... cuma ketiadaan hidup kan?”
Si murid berkata, “eh...”
“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor,
“Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah
deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku
tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak
menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas
sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku
imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”
Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi
itu dengan mata professor sendiri?”
Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin
tidak”.
“Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung.
Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia
dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan sehingga
memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah
ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod
Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve,
yaitu organ yang penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang
sebelumnya tidak ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di
Amerika Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang
sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam
muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”
"Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad
ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa
pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana
pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan
bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung.... “
Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat
otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor,
merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah
melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang
disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak.
Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”
Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di
kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus
menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat”
sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti
yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati
perilaku Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak
membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu
kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang
sama.”
Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca...
0 komentar:
Posting Komentar